
Ada
beberapa hal penting yang ingin saya kemukakan melalui tulisan ini. Pertama,
bahwasanya pemuda adalah kaum paling ideal untuk menjadi penggerak kebangkitan.
Semangat dan idealisme yang klimaks dari para pemuda itu harus dituntun ke arah
pemajuan bangsa.
Maka
yang perlu diperbaiki adalah kepribadian para pemuda, ini menyangkut moral, dan
habitual para pemuda masa kini. Memang kini banyak pemuda yang aktif dalam
berbagai aktivitas sosial ataupun keagamaan. Idealnya memang demikian adanya,
pemuda adalah nakhoda bangsa yang semestinya membawa Indonesia menjadi negara
maju. Namun yang perlu perhatian khusus ialah bahwa tidak sedikit pula yang
gemar dengan aktivitas hedon (dugem, mabuk, pacaran). Akan sangat disayangkan—bahkan
berbahaya—ketika pemuda yang dengan daya optimumnya tidak gandrung dengan
hal-hal ilmiah/ intelektual dalam rangka pemajuan bangsa.
Kedua,
bahwasanya gerakan kebangkitan nasional digagas oleh para pemuda Islam. Boedi
Oetomo yang dipuja sebagai penyadar dan pembangkit nasionalisme ternyata hanya
distorsi sejarah.
Dalam
buku “Api Sejarah Jilid I” karya
Ahmad Mansur Suryanegara disebutkan, ketika Soetomo masih sebagai siswa STOVIA,
20 Mei 1908, walaupun berasal dari Sekolah Dasar, sudah berusia 20 tahun.
Adapun ideologi yang ingin ditegakkannya adalah nasionalisme Jawa sebagai lawan
dari nasionalisme yang diajarkan oleh Djamiat Choir, yakni Islam, 17 Juli 1905.
Pengaruh Nasionalisme Timur Tengah sangat kuat terhadap Djamiat Choir. Dalam Algemene Vergadering Boedi Oetomo di
Bandung, 1915 M, sikap Djawanismenya semakin dipertegas. R. Sastrowidjono yang
terpilih sebagai Hoofdbestuur
(Ketua), meminta hadirin untuk berdiri dan sama-sama menyerukan: Leve pulau Djawa, Leve bangsa Djawa, Leve
Boedi Oetomo (Hidup pulau Jawa, Hidup bangsa Jawa, hidup Boedi Oetomo).
Lebih
lanjut Ahmad Mansur Suryanegara menuliskan, walaupun Boedi Oetomo sudah berusia
sembilan tahun, tetap tidak berpihak kepada ajaran Islam sebagai agama yang
dianut oleh mayoritas rakyat saat itu. Lalu bagaimana gerakan Tri Koro
dharmo-Jong Java sebagai underbouw
dari Boedi Oetomo. Tentu orientasinya sejalan dengan induknya, Boedi Oetomo,
yakni menentang Islam.
Sedangkan
Slametmuljana dalam “Nasionalisme sebagai
Modal Perdjuangan Bangsa Indonesia” menjelaskan, Tjipto Mangoenkoesoemo
selanjutnya keluar mninggalkan Boedi Oetomo. Kemudian diikuti pula Soewardi
Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara yang keluar karena manila Boedi Oetomo
sebagai gerakan elite bangsawan yang eksklusif.
Ketiga,
kiranya kita perlu menelaah lagi makna merdeka. Saya memandang bahwa
kemerdekaan tak hanya diukur dari fisik, namun juga aspek psikologis/
pemikiran. Secara fisik boleh kita akui Indonesia sudah merdeka. Itu secara
fisik. Negara kita sudah bebas jeratan Belanda maupun Jepang sejak 17 Agustus
1945. Dan diakui kedaulatannya pada 29 Desember 1949. Sesudah itu, kita tidak
terkekang oleh bangsa manapun. Hanya saja, kita perlu menimbang kembali apakah kita
sudah memperoleh merdeka yang paripurna? Apakah hari ini bangsa kita sudah
bebas dari jajahan pemikiran? Lihat saja apa yang sedang menjadi tren masa
kini. Yang paling mudah diidentifikasi ialah gencarnya produk asing masuk ke
Indonesia, yaitu 3F: Fun, Food dan Fashion.
Keempat,
dari pengamatan saya, bahwasanya hari kebangkitan nasional kali ini tidak
begitu dimaknai. Entah mengapa, apakah isu kecelakaan pesawat dan konser
kontroversi menjadi lebih hangat dibicarakan di media publik. Media serempak
untuk lebih menonjolkan isu pro-kontra konser ataupun kecelakaan pesawat di
Gunung Salak. Padahal sesungguhnya hari kebangkitan nasional ini merupakan
momen penting untuk digali berbagai pelajaran dan teladan para tokoh. Dan yang
terpenting lagi ialah mengkaji apakah benar Boedi Utomo merupakan organisasi
penggerak kebangkitan Indonesia.
Kiranya
kita perlu lebih menajamkan daya kritis kita dengan cara meningkatkan tradisi
intelektual: membaca, meneliti, diskusi, menulis. Kita sangat perlu menjadi
pribadi yang ‘higienis’: bebas dari kepentingan/ tunggangan. Kita tidak boleh
puas dengan satu guru, harus ada guru-guru yang lain demi memperkaya wawasan
intelektual kita. Begitupun dengan media, dengan berbagai latar belakang
(kepentingannya), tak elok ketika kita langsung termakan oleh satu media. Kita
perlu melihat pendapat media yang lain tentang isu yang sama.
Ahada Ramadhana
Humas KAMMI UII