Halaman

Sabtu, 02 Juni 2012

MENELAAH KEMERDEKAAN INDONESIA



Merdeka berarti bebas dari menghamba, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Demikian adalah definisi merdeka menurut KBBI. Dalam konteks kenegaraan maka berarti merdeka adalah tak ada gangguan (penjajahan) lagi terhadap bangsa Indonesia dalam bentuk apapun juga, fisik ataupun psikologis (pemikiran).
Ada beberapa hal penting yang ingin saya kemukakan melalui tulisan ini. Pertama, bahwasanya pemuda adalah kaum paling ideal untuk menjadi penggerak kebangkitan. Semangat dan idealisme yang klimaks dari para pemuda itu harus dituntun ke arah pemajuan bangsa.
Maka yang perlu diperbaiki adalah kepribadian para pemuda, ini menyangkut moral, dan habitual para pemuda masa kini. Memang kini banyak pemuda yang aktif dalam berbagai aktivitas sosial ataupun keagamaan. Idealnya memang demikian adanya, pemuda adalah nakhoda bangsa yang semestinya membawa Indonesia menjadi negara maju. Namun yang perlu perhatian khusus ialah bahwa tidak sedikit pula yang gemar dengan aktivitas hedon (dugem, mabuk, pacaran).  Akan sangat disayangkan—bahkan berbahaya—ketika pemuda yang dengan daya optimumnya tidak gandrung dengan hal-hal ilmiah/ intelektual dalam rangka pemajuan bangsa.
Kedua, bahwasanya gerakan kebangkitan nasional digagas oleh para pemuda Islam. Boedi Oetomo yang dipuja sebagai penyadar dan pembangkit nasionalisme ternyata hanya distorsi sejarah.
Dalam buku “Api Sejarah Jilid I” karya Ahmad Mansur Suryanegara disebutkan, ketika Soetomo masih sebagai siswa STOVIA, 20 Mei 1908, walaupun berasal dari Sekolah Dasar, sudah berusia 20 tahun. Adapun ideologi yang ingin ditegakkannya adalah nasionalisme Jawa sebagai lawan dari nasionalisme yang diajarkan oleh Djamiat Choir, yakni Islam, 17 Juli 1905. Pengaruh Nasionalisme Timur Tengah sangat kuat terhadap Djamiat Choir. Dalam Algemene Vergadering Boedi Oetomo di Bandung, 1915 M, sikap Djawanismenya semakin dipertegas. R. Sastrowidjono yang terpilih sebagai Hoofdbestuur (Ketua), meminta hadirin untuk berdiri dan sama-sama menyerukan: Leve pulau Djawa, Leve bangsa Djawa, Leve Boedi Oetomo (Hidup pulau Jawa, Hidup bangsa Jawa, hidup Boedi Oetomo).
Lebih lanjut Ahmad Mansur Suryanegara menuliskan, walaupun Boedi Oetomo sudah berusia sembilan tahun, tetap tidak berpihak kepada ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat saat itu. Lalu bagaimana gerakan Tri Koro dharmo-Jong Java sebagai underbouw dari Boedi Oetomo. Tentu orientasinya sejalan dengan induknya, Boedi Oetomo, yakni menentang Islam.
Sedangkan Slametmuljana dalam “Nasionalisme sebagai Modal Perdjuangan Bangsa Indonesia” menjelaskan, Tjipto Mangoenkoesoemo selanjutnya keluar mninggalkan Boedi Oetomo. Kemudian diikuti pula Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara yang keluar karena manila Boedi Oetomo sebagai gerakan elite bangsawan yang eksklusif.
Ketiga, kiranya kita perlu menelaah lagi makna merdeka. Saya memandang bahwa kemerdekaan tak hanya diukur dari fisik, namun juga aspek psikologis/ pemikiran. Secara fisik boleh kita akui Indonesia sudah merdeka. Itu secara fisik. Negara kita sudah bebas jeratan Belanda maupun Jepang sejak 17 Agustus 1945. Dan diakui kedaulatannya pada 29 Desember 1949. Sesudah itu, kita tidak terkekang oleh bangsa manapun. Hanya saja, kita perlu menimbang kembali apakah kita sudah memperoleh merdeka yang paripurna? Apakah hari ini bangsa kita sudah bebas dari jajahan pemikiran? Lihat saja apa yang sedang menjadi tren masa kini. Yang paling mudah diidentifikasi ialah gencarnya produk asing masuk ke Indonesia, yaitu 3F: Fun, Food dan Fashion.
Keempat, dari pengamatan saya, bahwasanya hari kebangkitan nasional kali ini tidak begitu dimaknai. Entah mengapa, apakah isu kecelakaan pesawat dan konser kontroversi menjadi lebih hangat dibicarakan di media publik. Media serempak untuk lebih menonjolkan isu pro-kontra konser ataupun kecelakaan pesawat di Gunung Salak. Padahal sesungguhnya hari kebangkitan nasional ini merupakan momen penting untuk digali berbagai pelajaran dan teladan para tokoh. Dan yang terpenting lagi ialah mengkaji apakah benar Boedi Utomo merupakan organisasi penggerak kebangkitan Indonesia.
Kiranya kita perlu lebih menajamkan daya kritis kita dengan cara meningkatkan tradisi intelektual: membaca, meneliti, diskusi, menulis. Kita sangat perlu menjadi pribadi yang ‘higienis’: bebas dari kepentingan/ tunggangan. Kita tidak boleh puas dengan satu guru, harus ada guru-guru yang lain demi memperkaya wawasan intelektual kita. Begitupun dengan media, dengan berbagai latar belakang (kepentingannya), tak elok ketika kita langsung termakan oleh satu media. Kita perlu melihat pendapat media yang lain tentang isu yang sama.


Ahada Ramadhana
Humas KAMMI UII