Halaman

Selasa, 27 Desember 2011

ANTARA JEMAAH DAN PARTAI POLITIK


 
Terdapat tiga hal yang merupakan nilai tawar yang sangat tinggi dan khas bagi PKS. Andaipun tanpa menyatakan status sebagai partai politik dan mencari dukungan kemana-mana, sebenarnya PKS akan tetap memperoleh dukungan yang gemilang. PKS akan diminati oleh semua kalangan karena telah berhasil menyentuh hati massa dengan adanya 3 poin ini.
Tiga poin penting yang menjadi kelebihan (nilai plus) dari PKS sebagai partai politik ialah sebagai berikut.  Pertama, rekrutmen (kaderisasi). Di mana PKS menjalankan peran/ gerakan tradisionalnya yaitu melakukan pengkaderan (kaderisasi) di semua tingkatan: pelajar maupun pekerja; orang tua maupun pemuda; yang rendah strata hingga tinggi kasta. Targetnya ialah semua, yang penting Islam. Rekrutmen ini tak dibatasi hitungan sekian atau sekian, tapi sebanyak-banyaknya, dan jika perlu bahkan seluruh umat manusia dijadikan target untuk kemudian diikutkan pada agenda-agenda PKS.
Kedua, regenerasi (anak pinak). Jarang sekali kita lihat kader-kader partai ini yang keturunannya sedikit. Kita bisa melihat bahwa keturunan para kader dan simpatisan PKS ada yang sepuluh, tiga belas, sebelas. Ambil contoh almarhumah ustadzah Yoyoh Yusroh yang memiliki tigabelas anak.
Ketiga, bakti sosial (baksos). PKS juga memainkan peran sebagai organisasi sosial. Turun langsung menyambangi warga-warga yang sedang perlu diperhatikan, entah itu ketika musibah seperti kebakaran, banjir, gunung meletus, atau juga menebar kepedulian kepada warga yang tak mampu secara ekonomi. Memang sebenarnya hal ini bukanlah job dari sebuah partai politik, tugas partai politik ketika ada kemiskinan bukanlah memberi bantuan langsung, namun menyelesaikannya melalui tataran konsepsi, bukan menjadi pengeksekusi. T api justru dengan gencar melakukan baksos inilah menjadikan PKS memilikii nilai tawar yang lebih. PKS menjadi suatu kumpulan manusia yang multifungsi, tak hanya berkiprah di perpolitikan negara—yang orientasinya pada kepemimpinan—tapi juga menjadi sebuah organisasi yang menjalankan peran sebagai abdi Negara.
Jika kita mensejajarkan PKS dengan partai politik pada umumnya maka kita sungguh akan menemui pikiran yang buntu bin njelimet karena tak mampu menafsir gerak dari partai yang satu ini. Namun ada satu kelemahan dari partai ini, yaitu bahasan mengenai habitus kader PKS yang memberi pemahaman—atau mungkin pula bisa disebut sebagai doktrin—bahwa ”jama’ah adalah partai dan partai adalah jama’ah”. Menjadi suatu masalah ialah ketika ada seseorang yang mengaku bukan kader partai. Tapi ia mengaku anggota jama’ah tarbiyah. Maka jika kembali pada azas “jama’ah adalah partai dan partai adalah jama’ah” tadi sehingga seseorang tadi secara otomatis “terakui/ teranggap” sebagai kader PKS.
Kebanyakan organisasi memiliki satu kelemahan yang sama. Yaitu ketika generasi pertama (para pendiri) telah pergi, maka organisasi yang dikelola oleh kader-kader di bawahnya ini sungguh takkan segarang dahulu ketika awal berdiri. Semacam tak punya asa lagi, dan kehilangan jati diri. Ini menimpa di kebanyakan organisasi. Masalah lagi, ketika generasi pendiri organisasi itu telah tiada, tak jarang akan terjadi kres internal dalam menentukan berbagai hal dalam organisasi itu. Dan tak mustahil akan terpecah berkubu-kubu.
Dalam perjalanannya, PKS menjalankan kaderisasi selalu mengenai hati para “korban”-nya, barulah mengajaknya mengikuti liqo (halaqah), yang nantinya akan dibina—ataupun bisa dikatakan didoktrin—untuk menjadi bagian pendulang suara di pemilu. Mereka (para target operasi) diajak berpartisipasi—secara kasar bisa dibilang dijadikan jongos—dalam agenda-agenda kepartaian untuk pensuksesan pemilu, terlebih mensukseskan partai dan calon yang diusung. Dengan iming-iming “agenda islami” (melalui halaqah tadi), para korban itu secara tidak langsung dipaksa terlibat/ mengikuti arus politik di ranah kenegaraan (politik pragmatis). Ini disebabkan azas jama’ah yang telah menghabit tersebut.
Yang paling ditakutkan kader-kader akar rumput PKS adalah ketika ustadz-ustadznya—para petinggi—berbicara bahasa Arab walaupun itu bukan dalil. Maka Dr. Arief Munandar merekomendasikan agar  kader-kader PKS mulai mempelajari tafsir, ushul fiqh, dan bahasa arab agar paham apa yang sedang dibicarakan oleh sang ustadz yang secara kultural (sakral) telah punya otoritas. Jika sudah mengerti pembicaraan maka daya kritis bisa ditimbulkan jika memang merasa ada gejala tendensi menggolkan kepentingan politik dengan memanfaatkan agama, sehingga tak ada kesan otoritatif dari para atasan (Majelis Syuro).
Seorang aktivis KAMMI Komisariat UGM Ahmad Rizky Mardhatillah Umar menyatakan, menurut Dr. Arief, strategi desakralisasi tersebut dilakukan dengan cara memisahkan otoritas keagamaan dari orang seorang, yang artinya meruntuhkan mitos bahwa “Majelis Syuro” adalah mereka yang punya otoritas keagamaan yang kuat sehingga wajar jika punya wewenang politik yang besar.
Lebih lanjut aktivis Lingkar Studi Bulaksumur ini berpendapat,
“Desakralisasi mengimplikasikan demokratisasi dan egaliterisasi, sehingga kritik menjadi bisa dimunculkan tanpa sekat-sekat kultural yang sebenarnya itu hanya dibuat sendiri oleh manusia. Dalam konteks egaliterisasi, berarti bahwa otoritas keagamaan bukan kekuasaan. Artinya, otoritas keagamaan itu tidak menjadikan seseorang berdiri lebih tinggi daripada orang lain. Tidak ada yang posisinya lebih tinggi dari orang lain di dunia ini”.  

ahada ramadhana
kajian strategis KAMMI UII


Bedah disertasi Dr. Arief Munandar (dosen FEUI dengan gelar Doktor Sosiologi) : ”Antara Jamaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004”
Dengan pembicara: Dr. Arief Munandar; (Perwakilan DPW PKS DIY); Sigit Pamungkas (Dosen Fisipol YGM).  Selasa, 4 Oktober 2011 di GOR UNY. Moderator: Ahmad Rizki Mardhatillah Umar. Diselenggarakan oleh KAMMI Komisariat UGM di Jogja Islamic Book Fair 2011

Sabtu, 24 Desember 2011

RETAKNYA IDENTITAS GERAKAN (INFILTRASI GERAKAN)



Salah satu yang menjadi penyebab runtuhnya ideologi suatu gerakan mahasiswa ialah dipengaruhi oleh kondisi luar (eksternal) organisasi. Namun lebih dari itu yang ternyata lebih memberi efek besar ialah dari dalam tubuh organisasi itu sendiri (faktor internal). sebab faktor dalamlah yang lebih mengetahui tentang segala seluk-beluk organisasinya, juga yang paling berhak memainkan arah sikap. Kehancuran yang disebabkan internal factor ini bisa kita pelajari dari sebuah film bernama Armageddon  yang mana di dalamnya kita bisa mengambil pelajaran, bahwa untuk menghancur-leburkan bumi secara efektif ialah dengan menghancurkannya dari dalam, yaitu meletakkan peledak pada intinya. Skala kehancuran yang dihasilkan jika diserang dari dalam akan sangat besar.
Gerakan mahasiswa yang digembor-gemborkan sebagai gerakan intelektual, gerakan moral, berpatron pada nilai, mengutamakan kesejahteraan rakyat, dan berbagai idealisme lainnya kini telah diragukan keorisinilannya. Kesucian ideologi telah banyak dipertanyakan. Indikasi adanya tunggangan ‘pihak asing’ dalam tubuh suatu gerakan mahasiswa—yaitu KAMMI—yang mana pihak asing tersebut punya kepentingan tertentu (baca: politik pragmatis) telah tercium oleh masyarakat, terlebih di kalangan mahasiswa sendiri yang telah bergelut dalam elemen gerakan mahasiswa semisal HMI, IMM, PII, atau juga PMII.
Saya memandang setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab suatu organisasi mahasiswa menjadi terusan—dikendalikan—pihak tertentu. Pertama, ialah tawaran kerjasama oleh pihak luar ketika organisasi telah berdiri. Orientasi mahasiswa yang menyebabkan lahirnya gerakan mahasiswa bisa jadi pada awalnya memang lurus, namun seiring berjalan waktu, ada pihak yang menawarkan kerjasama lalu menanamkan investasi di dalam organisasi mahasiswa itu. Sehingga pihak luar itu bisa menjadi yang turut mengatur gerak organisasi atau bahkan memberi instruksi pada organisasi tersebut. Jadi infiltrasi terhadap gerakan mahasiswa terjadi di tengah-tengah jalan (pada masa ketika organisasi mahasiswa itu telah berdiri).
Kedua, mungkin pula suatu gerakan mahasiswa itu sejak awal lahirnya memang merupakan suatu sel rekrutmen dari suatu pihak tertentu yang punya kepentingan. Sehingga sudah bisa dipastikan bahwa organisasi semacam ini tak terjaga orisinalitas kemahasiswaannya, yaitu tentang kebebas-berpihakannya. Gemboran-gemboran tentang gerakan bebas kepentingan dan hanya berpihak pada rakyat hanya angan, sebab sedari awal lahirnya organisasi ini memang telah ‘tercemar’. Gerakan mahasiswa yang dibentuk ini justru berfungsi sebagai saluran rekrutmen oleh pihak asing tersebut. Semua geraknya pada dasarnya—diakui atau tidak—pasti dimuati pesanan-pesanan pihak luar itu, atau paling tidak gerak-gerik dan perkembangan dari organisasi ini telah diawasi/ di-back up oleh pihak luar tadi. Ini disebabkan organisasi tersebut telah ada penunggangnya, sehingga bisa dipastikan bahwa geraknya sedikit banyak telah disetir untuk kepentingan politik dari orang-orang luar. Ini menyedihkan, mengorbankan mahasiswa demi meng-goal-kan kepentingan satu golongan. Saya tidak tahu variasi penilaian orang, tetapi jika saya berpendapat ini terlalu tak berperasaan, sebab walaupun kepentingan itu adalah diklaim untuk kepentingan rakyat akan tetapi gerakan mahasiswa tetaplah harus putih nan suci, bebas keberpihakan dan kepentingan lain selain pada kemaslahatan rakyat.
Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya “Anak Semua Bangsa” mengungkapkan bahwa sebaik-baik ahli yang berada dalam kekuasaan yang bodoh ikut juga jadi bodoh.
Maknanya ialah jika kita membiarkan organisasi yang kita berada di dalamnya disetir pihak asing, maka berari kita telah menjadi jongos. Siapapun di dalamnya terkategorikan orang bodoh karena telah bersedia dikuasai pihak lain, meskipun orang-orang di dalamnya punya kapasitas sebagai organisatoris.
Struktural Bayangan
Saya pernah mendiskusikan suatu topic lama—bahkan mungkin bagi orang-orang KAMMI terdahulu ini adalah isu basi—bersama seorang rekan KAMMI Komisariat Kutai Kartanegara tentang independensi KAMMI. Jawaban yang beliau berikan tak mencerminkan seorang ‘aktivis mahasiswa’. Yang dipaparkan ialah bahwa KAMMI dan PKS secara institusi saling keterkaitan. Yaitu memiliki kesamaan dalam lingkup jama’ah Tarbiyah. PKS merupakan institusi jama’ah Tarbiyah di Indonesia. KAMMI yang merupakan gerakan mahasiswa—yang juga ‘institusi Tarbiyah’ harus mengakui keberadaan PKS sebagai induknya.
Terdapat blunder jawaban yang diutarakan. Pertama, yaitu klaim bahwa KAMMI adalah ‘institusi Tarbiyah’. Ini menyalahi, di dalam visi KAMMI pun tak disebutkan bahwa KAMMI adalah organisasi Tarbiyah. Lebih dipertegas lagi oleh Arip Dwi Iskandar (Ketua KAMMI Kota Jogja), bahwasanya KAMMI bukanlah baju, setiap yang ingin bergabung di KAMMI tak perlu melepas baju karena KAMMI bukanlah baju. KAMMI adalah wadah, tak perlu mengganti baju lama jika ingin bergabung, dipersilakan bagi siapa saja dan dari latar belakang apapun. Tak terbatas—terkhusus—bagi kader Tarbiyah saja.
Dengan orang yang berbeda, saya memperoleh pernyataan yang menyudutkan kekritisan kader. Beliau menyatakan, “kader yang mempermasalahkan keterkaitan KAMMI dan PKS adalah kader KAMMI yang ‘belum paham’, biasanya isu yang diangkat ialah tentang independensi. Dan lihat saja biasanya kader seperti ini tidak akan bertahan lama”. 
Dengan adanya pernyataan-pernyataan di atas saya menjadi berpikir bahwa ada struktur bayangan yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Yaitu tentang PKS yang menempati posisi di atas KAMMI secara struktur. Ini tak hanya permasalahan kultural—mengenai pencampuradukan KAMMI dan PKS ini—menurut spekulasi saya. Namun memang ada struktur bayangan yang sengaja dirahasiakan, dan hanya diketahui oleh orang-orang penskenario.  

Ahada Ramadhana
Kajian Strategis KAMMI UII

Jumat, 23 Desember 2011

GRADASI KEBENARAN-KEPENTINGAN PARA DA’I (REFLEKSI DARI SEBUAH KESALAHAN BERPIKIR ARGUMENUM AD VERECUNDIAM)



Argumenum ad Verecundiam adalah salah satu bentuk kesalahan berpikir yang dikemukakan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya “Rekayasa Sosial”. Argumenum ad Verecundiam secara mudah dapat kita artikan dengan “memanfaatkan otoritas untuk suatu kepentingan”. Contohnya, ada seorang mengutip sebuah hadis Nabi saw untuk menguatkan pendapatnya, atau ada juga seorang Doktor yang menggunakan otoritas (gelarnya) untuk menyerukan suatu hal yang berkaitan dengan kepentingannya.
Secara lebih gamblang Kang Jalal menjelaskan bahwa kesalahan berpikir Argumenum ad Verecundiam  ialah berargumen dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu. Ada orang yang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri. Atau bisa pula dikatakan “mengutip suatu peristiwa untuk maksud membenarkan pendapatnya. Dengan kesalahan berpikir ini seringkali orang pertama memaksa lawan bicara untuk diam, tidak membantah, bahkan mengkafirkan yang membantah (dengan alasan membantah teori yang dijadikan dalih, seperti al-Qur’an, hadits, dsb) setelah orang pertama itu dengan enaknya mengutip ayat dari al-Qur’an. Padahal, andaipun lawan bicaranya ingin membantah, maka yang dibantahnya itu bukan al-Qur’an, melainkan penggunaan otoritas al-Qur’an yang ditafsirkan seenaknya oleh orang pertama.
Dewasa ini umat manusia telah familiar dengan pemisah-misahan, merasa nyaman hidup berblok-blok, yang mana pengklasifikasian kelompok-kelompok ini ialah didasarkan pada ‘kepentingan’. Setiap orang fitrahnya akan merasa nyaman dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Dari sinilah tergagas pemikiran untuk berlomba menciptakan blok-blok, kelompok-kelompok, berisi orang-orang yang merasa memiliki chemistry oleh sebab kesamaannya dalam berbagai hal. Dan gagasan itu telah terealisasi sekarang, umat Islam saja telah terbagi-bagi dalam beberapa kelompok, ada Hizbut Tahrir, Tarbiyah, Nahdliyin, Muhammadiyah, Salafi, Wahabi, Jama’ah Tabligh. Dan setiap kelompok itu tentu punya kepentingan masing-masing.
Bagi orang yang sungguh-sungguh dalam belajar agama, dalam artian memahami bahwa menggikuti suatu kajian agama adalah sebagai suatu kewajiban dan kebutuhan—bukan sekadar ikut-ikutan dank arena dogma pihak tertentu—akan mempertanyakan tentang kebenaran ilmu yang disampaikan oleh si ustadz. Apakah materi yang disampaikan itu benar mengenai Islam ataukah materi itu merupakan suatu kepentingan yang dikemas secara apik dan ditambah ‘aksesori’ ayat al-Qur’an ataupun hadis dengan tujuan lebih meyakinkan kita sebagai objek dakwah.
Sungguh terdapat bias mengenai penurunan ilmu oleh para da’i—yang asalnya dari berbagai latar belakang organisasi berbeda itu—kepada para mad’u. Apakah benar yang mereka sampaikan adalah ilmu tentang wawasan keislaman. Ataukah dengan otoritasnya sebagai juru dakwah itu mereka manfaatkan untuk menyampaikan kepentingan diri (organisasi)-nya. Dengan memiliki status sosial yang menjanjikan itu mereka (para da’i) lalu memanfaatkannya untuk suatu hal diklaim merupakan ‘kepentingan umat’.
Menanggapi realitas yang demikian adanya, kita sebagai para pencari ilmu sedikit-banyak akan mengalami keguncangan pemikiran dan batin. Yang kita harapkan adalah memperoleh kebenaran dari ilmu yang disampaikan oleh para pengajar yang kita belajar padanya dan kita anggap berkompeten itu.
Sedangkal pemahaman saya, cara menangkal/ memproteksi diri dari ancaman penyalahgunaan otoritas keda’ian itu kita bisa mengembalikan kepada hati nurani. Kita bisa manaruh harap besar pada hati nurani, karena ia adalah tendensi(fitrah)-nya menuju kepada Allah. Keburukan akan dikatakan buruk, dan yang benar akan dikatakan benar olehnya. Dan nurani ini sesungguhnya Allahlah yang menguasainya. Jadi jalan bijak ketika menemui kebimbangan tentang apapun yang disampaikan oleh para guru (ustadz) kita maka patut kita menuntut hati nurani untuk berbicara. Teruslah belajar kawan, kepada siapapun itu. Ilmu Allah sangat luas adanya, jangan buru-buru menolak perbedaan. Semoga manfaat. Allah saja yang mengetahui hakikat sebuah kebenaran.


Ahada ramadhana
Kajian Strategis KAMMI UII