Terdapat tiga hal yang merupakan nilai tawar yang sangat tinggi dan khas bagi PKS. Andaipun tanpa menyatakan status sebagai partai politik dan mencari dukungan kemana-mana, sebenarnya PKS akan tetap memperoleh dukungan yang gemilang. PKS akan diminati oleh semua kalangan karena telah berhasil menyentuh hati massa dengan adanya 3 poin ini.
Tiga poin penting yang menjadi kelebihan (nilai plus) dari PKS sebagai partai politik ialah sebagai berikut. Pertama, rekrutmen (kaderisasi). Di mana PKS menjalankan peran/ gerakan tradisionalnya yaitu melakukan pengkaderan (kaderisasi) di semua tingkatan: pelajar maupun pekerja; orang tua maupun pemuda; yang rendah strata hingga tinggi kasta. Targetnya ialah semua, yang penting Islam. Rekrutmen ini tak dibatasi hitungan sekian atau sekian, tapi sebanyak-banyaknya, dan jika perlu bahkan seluruh umat manusia dijadikan target untuk kemudian diikutkan pada agenda-agenda PKS.
Kedua, regenerasi (anak pinak). Jarang sekali kita lihat kader-kader partai ini yang keturunannya sedikit. Kita bisa melihat bahwa keturunan para kader dan simpatisan PKS ada yang sepuluh, tiga belas, sebelas. Ambil contoh almarhumah ustadzah Yoyoh Yusroh yang memiliki tigabelas anak.
Ketiga, bakti sosial (baksos). PKS juga memainkan peran sebagai organisasi sosial. Turun langsung menyambangi warga-warga yang sedang perlu diperhatikan, entah itu ketika musibah seperti kebakaran, banjir, gunung meletus, atau juga menebar kepedulian kepada warga yang tak mampu secara ekonomi. Memang sebenarnya hal ini bukanlah job dari sebuah partai politik, tugas partai politik ketika ada kemiskinan bukanlah memberi bantuan langsung, namun menyelesaikannya melalui tataran konsepsi, bukan menjadi pengeksekusi. T api justru dengan gencar melakukan baksos inilah menjadikan PKS memilikii nilai tawar yang lebih. PKS menjadi suatu kumpulan manusia yang multifungsi, tak hanya berkiprah di perpolitikan negara—yang orientasinya pada kepemimpinan—tapi juga menjadi sebuah organisasi yang menjalankan peran sebagai abdi Negara.
Jika kita mensejajarkan PKS dengan partai politik pada umumnya maka kita sungguh akan menemui pikiran yang buntu bin njelimet karena tak mampu menafsir gerak dari partai yang satu ini. Namun ada satu kelemahan dari partai ini, yaitu bahasan mengenai habitus kader PKS yang memberi pemahaman—atau mungkin pula bisa disebut sebagai doktrin—bahwa ”jama’ah adalah partai dan partai adalah jama’ah”. Menjadi suatu masalah ialah ketika ada seseorang yang mengaku bukan kader partai. Tapi ia mengaku anggota jama’ah tarbiyah. Maka jika kembali pada azas “jama’ah adalah partai dan partai adalah jama’ah” tadi sehingga seseorang tadi secara otomatis “terakui/ teranggap” sebagai kader PKS.
Kebanyakan organisasi memiliki satu kelemahan yang sama. Yaitu ketika generasi pertama (para pendiri) telah pergi, maka organisasi yang dikelola oleh kader-kader di bawahnya ini sungguh takkan segarang dahulu ketika awal berdiri. Semacam tak punya asa lagi, dan kehilangan jati diri. Ini menimpa di kebanyakan organisasi. Masalah lagi, ketika generasi pendiri organisasi itu telah tiada, tak jarang akan terjadi kres internal dalam menentukan berbagai hal dalam organisasi itu. Dan tak mustahil akan terpecah berkubu-kubu.
Dalam perjalanannya, PKS menjalankan kaderisasi selalu mengenai hati para “korban”-nya, barulah mengajaknya mengikuti liqo (halaqah), yang nantinya akan dibina—ataupun bisa dikatakan didoktrin—untuk menjadi bagian pendulang suara di pemilu. Mereka (para target operasi) diajak berpartisipasi—secara kasar bisa dibilang dijadikan jongos—dalam agenda-agenda kepartaian untuk pensuksesan pemilu, terlebih mensukseskan partai dan calon yang diusung. Dengan iming-iming “agenda islami” (melalui halaqah tadi), para korban itu secara tidak langsung dipaksa terlibat/ mengikuti arus politik di ranah kenegaraan (politik pragmatis). Ini disebabkan azas jama’ah yang telah menghabit tersebut.
Yang paling ditakutkan kader-kader akar rumput PKS adalah ketika ustadz-ustadznya—para petinggi—berbicara bahasa Arab walaupun itu bukan dalil. Maka Dr. Arief Munandar merekomendasikan agar kader-kader PKS mulai mempelajari tafsir, ushul fiqh, dan bahasa arab agar paham apa yang sedang dibicarakan oleh sang ustadz yang secara kultural (sakral) telah punya otoritas. Jika sudah mengerti pembicaraan maka daya kritis bisa ditimbulkan jika memang merasa ada gejala tendensi menggolkan kepentingan politik dengan memanfaatkan agama, sehingga tak ada kesan otoritatif dari para atasan (Majelis Syuro).
Seorang aktivis KAMMI Komisariat UGM Ahmad Rizky Mardhatillah Umar menyatakan, menurut Dr. Arief, strategi desakralisasi tersebut dilakukan dengan cara memisahkan otoritas keagamaan dari orang seorang, yang artinya meruntuhkan mitos bahwa “Majelis Syuro” adalah mereka yang punya otoritas keagamaan yang kuat sehingga wajar jika punya wewenang politik yang besar.
Lebih lanjut aktivis Lingkar Studi Bulaksumur ini berpendapat,
“Desakralisasi mengimplikasikan demokratisasi dan egaliterisasi, sehingga kritik menjadi bisa dimunculkan tanpa sekat-sekat kultural yang sebenarnya itu hanya dibuat sendiri oleh manusia. Dalam konteks egaliterisasi, berarti bahwa otoritas keagamaan bukan kekuasaan. Artinya, otoritas keagamaan itu tidak menjadikan seseorang berdiri lebih tinggi daripada orang lain. Tidak ada yang posisinya lebih tinggi dari orang lain di dunia ini”.
ahada ramadhana
kajian strategis KAMMI UII
Bedah disertasi Dr. Arief Munandar (dosen FEUI dengan gelar Doktor Sosiologi) : ”Antara Jamaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004”
Dengan pembicara: Dr. Arief Munandar; (Perwakilan DPW PKS DIY); Sigit Pamungkas (Dosen Fisipol YGM). Selasa, 4 Oktober 2011 di GOR UNY. Moderator: Ahmad Rizki Mardhatillah Umar. Diselenggarakan oleh KAMMI Komisariat UGM di Jogja Islamic Book Fair 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komenlah yang baik-baik saja :D