Halaman

Senin, 13 Februari 2012

MENGEJAR PENGAKUAN DAN PUJIAN



Melihat realitas, bahwasanya nilai kejujuran begitu diacuhkan dalam kehidupan akademis.  Yang lebih didewakan ialah prngakuan/ bukti tertulis berupa nilai-nilai (point bukan value). Orientasi mahasiswa ialah pada ijazah bukan pada tingkat pemahaman pada ilmu. Ini menyebabkan mindset mahasiswa tersetir yaitu memperoleh nilai A sebanyak-banyaknya, seperti apapun caranya, tanpa mempedulikan apakah paham mengenai ilmu yang disampaikan di kelas atau tidak. Berbagai cara ditempuh demi memperoleh pengakuan cumlaude—yang dalam bahasa Indonesia artinya ’pujian’. Di mana saat ini kita bisa melihat pula bahwa pengakuan dan pujian begitu berartinya, sertifikasi dan penghargaan menjadi suatu tujuan, kuliah bukannya mendapat tambahan ilmu namun sekadar mengejar nilia-nilai yang tertuang dalam lembar ijazah.
Raka (dalam Siti Irene Astuti D, dkk, 2010) berpendapat, bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada krisis karakter yang cukup memprihatikan. Demoralisasi mulai merambah ke dunia pendidikan yang tidak pernah memberikan mainstream untuk berperilaku jujur, karena proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas teks dan kurang dipersiapkan pada siswa untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif. Bahkan, fenomena lahirnya praktik korupsi juga berawal dari kegagalan dunia pendidikan dalam menjalannya fungsinya, ditandai dengan gejala tereduksinya moralitas dan nurani sebagian dari kalangan akademisi. Banyak bukti menunjukkan masih tingginya angka kebocoran di institusi terkait, pengkatrolan nilai oleh guru, plagiarisme naskah-naskah skripsi dan tesis, menjamurnya budaya nyontek para murid, korupsi waktu mengajar, dan sebagainya.
Kejujuran kaitannya dengan moral. Itu bergantung pada pribadi masing-masing. Dalam Wikipedia disebutkan bahwa moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.
Sistem di universitas memang tak berperan begitu signifikan hingga mampu mengidentifikasi relasi antara kepahaman mahasiswa dengan nilai yang diperoleh. Namun paling tidak sistem di universitas bisa mengawasi jalannnya ujian dengan mengadakan pengawas-pengawas yang sungguh-sungguh dalam memantau jalannya ujian. Bagi saya sistem sifatnya harus memaksa, sistemlah yang harus diikuti oleh mahasiswa bukannya sistem yang mengikuti kemauan mahasiswa. Dan tentunya peramu sistem/ kebijakan itu ialah orang dengan kapasitas akademis dan moral yang baik sehingga fungsi sistem itu benar-benar mencetak produk mahasiswa yang lurus dan teruji. Dengan telah memasuki dunia universitas, maka apakah tak merasa rugi jika kita selaku mahasiswa lulus sebagai sarjana dengan sekadar mengejar pengakuan (ijazah) dan pujian (cumlaude) dan nilai-nilai sebagai kedok ‘kesuksesan akademik’ tanpa banyak ilmu yang melekat? Mengejar ilmu ataukah mengejar pengakuan? Pikirkanlah kawan! Kita sudah dewasa!


Ahada Ramadhana
Kajian Strategis KAMMI UII