Halaman

Jumat, 30 November 2012

RANCANGAN


Pekerjaan persiapan itu perlu kawan! Targetan dakwah harus dirancang, diprogramkan. Sedangkan para pelaku kejahatan saja rela dengan serius merancang “targetan” mereka. Mengapa dakwah yang sudah jelas diperintahkan oleh Allah tidak dipersiapkan secara matang. Bukan hanya siap mengejar targetan, namun siap juga menghadapi segala kendalanya. Berupa apapun itu, apakah hambatan teknis, dana, motivasi dan lain sebagainya. Bersiap-siagalah setiap saat karena “musibah” itu tak tentu kapan datangnya. Jangan menunggu sudah hujan kita baru bingung membeli payung. Jangan sampai musuh sudah di depan mata kita baru mengisi peluru. Jangan terlalu menunjukkan kepolosan.
Mempersiapkan diri secara spiritual dengan iman dan akidah, secara intelektual dengan ilmu dan tsaqafah, dan secara fisik dengan olahraga. Dan tak usah latah sehingga mempersiapkan sesuatu secara berlebihan. Mengadakan persiapan secara tidak wajar, mendahulukan hal-hal yang bersifat tambahan/ accessories namun esensinya tak dipenuhi.
Jangan buru-buru memikirkan hasil capaian. Tapi lebih penting memikirkan langkah-langkah/ cara mencapai cita-cita itu.  Kita adalah gerakan bersama. Sukses dan gagal menjadi tanggungan bersama. Apa saja yang perlu dibenahi dari gerakan kita adalah tugas bersama. Dari pemutusan bersama/ musyawarah inilah nantinya akan ada pembagian tugas individu kader. Di sini sikap pro-aktif dari masing-masing kader dituntut. “Sadar diri” bahwa kita punya tugas dakwah personal. Kita akan diproyeksikan ke mana, kita harus siap.
Bukan lagi sedia payung sebelum hujan. Namun lebih dari itu kita mampu mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan penting sebelum kebutuhan itu diperlukan. Kita ini pemuda, kawan! Sedia perlengkapan yang memang patut disediakan untuk perjuangan dakwah ini. Tak cukup hanya payung. Jangan malah hujan sudah turun dengan derasnya kita baru ingin membeli payung. Atau bahkan baru mempersiapkan uang dan bertanya tempat yang menjual payung itu. Sangat tertinggal sekali. Jika perlu, sedia “rumah” sebelum hujan. Rumah dengan segala fasilitas pendukungnya. Rumah dengan tetek-bengeknya. Sebab itu memang diperlukan. Bukan bermewah-mewahan. Anis Matta menyatakan, Pikiran kita selalu terfokus pada bagaimana mensiasati keterbatasan. Bukan pada bagaimana menciptakan kemelimpahan. Karena yang kita pikirkan adalah bagaimana mensiasati keterbatasan, maka selamanya keterbatasan menjadi realitas kita. Kemelimpahan tidak pernah jadi nyata, karena kita memang tidak memikirkannya.
Bukan ingin bermewah-mewahan. Namun dakwah ini perlu persiapan matang dan pengorbanan besar. Bukan permainan dan coba-coba yang bisa dikerjakan tanpa persiapan sekalipun. Ini proyek besar menyatukan umat di bawah panji Islam. Dan ini kecerdikan memainkan keadaan. Alangkah sayangnya segala fasilitas yang ada jika kta tidak memanfaatkannya, dan malah membiarkan itu semua dijarah para penjahat dakwah. Apakah kita rela membiarkan fasilitas itu untuk mereka? Itu sama saja kita mengembangbiakkan kemunkaran.
Ada targetan yang harus dirumuskan dalam organisasi pergerakan. Dimana rumusan itu dirancang dengan pembagian yang jelas dan tepat pada masing-masing kader (disesuaikan kualifikasi masing-masing kader) yang  selanjutnya oleh kader dapat direalisasikan dengan sungguh-sungguh. Targetan hendaknya tidak memberatkan kader dan real untuk dikerjakan. Jangan sampai tuntutan organisasi itu membebankan kader sehingga malah tugas individual tidak dikerjakan (karena memberatkan tadi) dan akhirnya targetan tidak tercapai. Ini tentu tidak diinginkan. Yang efektif ialah ketika pekerjaan itu ringan namun punya hasil besar. Bukan sekadar kerja berat, namun ternyata tak menghasilkan manfaat yang banyak. Kerja cerdas bukan sekadar kerja keras. Namun lebih baik lagi kedua-duanya: kerja keras dan kerja cerdas. Ada nilai perjuangan dan pengorbanan di dalamnya. Karena dakwah memang butuh perjuangan dan pengorbanan. Dan jika bisa menciptakan kerja ikhlas, itu tentu lebih baik lagi.
Khayalan dan cita-cita itu nyaris sama persis. Mereka sama-sama berupa kumpulan harapan, keinginan, dan impian akan sesuatu yang besar maupun kecil, tetap ingin dicapai. Namun satu hal yang membedakan ialah dimana khayalan itu adalah impian yang tak disertai implementasi dan upaya mewujudkannya sedangkan cita-cita adalah kumpulan harapan, keinginan, dan impian yang disertai usaha mewujudkannya. Perbedaannya adalah terletak pada implementasi konsep ke realisasi. Yaituaction.
kita tak sedang mengejar sebuah kesemuan. Dalam konsep takdir-Nya bahwa telah ditetapkan adalah Islam menjadi pemenang alam raya ini. Khairu ummah, khalifah, dan abdullah. ingatlah sematan-sematan yang Allah berikan itu kawan. 

MELAMPIASKAN


Terkadang dalam melintasi trek kehidupan kita temui jalan yang bagi kita tak menyenangkan, menjemukan dan membosankan. Namun itu justru mendatangi dalam banyak waktu. Tentu akan ada perasaan ingin segera merampungkan agenda yang kita anggap menjemukan itu. Segera saja kita tuntaskan agenda-agenda tersebut (yang tak kita anggap nyaman). Sebaliknya kepada agenda yang kita senangi akan kita nikmati dengan kesungguhan, enjoy, dan akan terasa singkat sekali. Beginilah retorika dunia.
Mengenai agenda yang menjenuhkan, memang tak bisa kita mencoba lari darinya sebab itu berupa ujian yang Allah beri sebagai proses mendewasakan. Belajar tentang ilmu ikhlas. Belajar tentang menerima. Berlatih tentang sabar. Banyak hal yang jika kita gali merupakan wujud didikan dari Allah atas diri kita umat Islam, sebab kita—umat Islam—tengah dipersiapkan dan ditugaskan memainkan peran khalifah fil ard (pemimpin di muka bumi) dan abdullah (abdi Allah). Maka dari itu Allah secara intens akan memberi ujian-ujian agar kelak kita pantas memasuki jenjang kelas yang semakin menanjak, dengan kompleksitas problematika yang meningkat pula tentunya.
Sebagian orang menjalani aktivitas menjenuhkan hanyalah seperti formalitas, menjalani sekadarnya saja. Dan akan berpikir agar kejemuan aktivitasnya itu segera dapat terselesaikan. Menjalani agenda yang tak kita kehendaki akan ada perasaan terbebani, risih, dan tak nyaman. Sehingga tak pelak kita akan memerlukan suatu “agenda tertentu” sebagai pelampiasan. “Agenda tertentu” yang dijadikan pelampiasan itu ialah berupa “aktivitas yang menyenangkan”—sesuai persepsi kita tentunya.
Pelampiasan itu sebagai obat atas berolehnya aktivitas yang menyebabkan ketidaknyamanan situasi yang menimpa pada diri, sebab tak jarang kita merasa seperti mendapat musibah yang begitu berat ketika menemui agenda yang kontra dengan keinginan kita. ada perasaan ingin membalas dendam sebab merasa telah mendapatkan “perlakuan buruk” dari-Nya. Ada perasaan ketidakmenerimaan atas kuasa-Nya tentang takdir yang diturunkan pada kita. ada kecenderungan “membalas” sehingga terasa plong dan keadaan yang diterima menjadi netral kembali: ketidaknyamanan didapat, lalu setelahnya kenyamanan pun beroleh.
Terkait menyenangi aktivitas/ pekerjaan ini, Arif Perdana berpendapat,
“Adakalanya orang yang bekerja dengan status sebagai karyawan bekerja di bawah tekanan, dalam arti tidak merasa nyaman ketika melakukan pekerjaan itu. Berbeda halnya dengan orang yang bekerja sebagai pedagang, petani ataupun nelayan, mereka tidak menyandang status karyawan, tetapi mereka memiliki kebebasan untuk mengatur cara mereka dalam bekerja. Orang mungkin beranggapan hal semacam ini wajar. Tapi menurut saya, akan lebih baik ketika menikmati pekerjaan kita, walau berat tapi mengasyikkan. Kita berharap begitu. Namun jika kita tetap juga tidak mampu untuk berusaha menyenangi pekerjaan yang kita lakukan, keluarlah dari pekerjaan kita saat ini dengan syarat kita harus memiliki pilihan dan rencana pekerjaan lain yang hendak kita lakukan jika kita telah resign dari pekerjaan kita saat ini. Jika tidak berusahalah untuk senantiasa bersyukur atas pekerjaan yang telah kita miliki saat ini.” (Arif Perdana, 2011).
Namun sesungguhnya “agenda menjemukan” itu hanyalah persepsi. Suatu pemikiran kita yang mengarahkan pada kenyamanan ataupun kebosanan itu hanyalah persepsi. Kita merasa perlu pelampiasan adalah karena merasa telah mengalami proses ketidaknyamanan dan menjemukan. Ketika tak beranggapan bahwa suatu agenda yang kita jalani itu berupa kebosanan maka tak akan pernah kita memerlukan sesuatu aktivitas lain sebagai pelampiasan. Sebab berarti kita telah merasa setiap aktivitas maupun ujian yang Ia turunkan berupa hal menyenangkan.
Ketika kita berpikir bahwa segala adalah menyenangkan dan berupa kenyamanan maka ketersenyuman selalu menyeringai dalam aktivitas keseharian. Hidup sungguh berasa ringan dan nyaman, tanpa ada perasaan beban. Sesungguhnya orang-orang yang mampu tersenyum dalam setiap aktivitasnya adalah tipe orang yang telah menemukan makna hidupnya. Ia selalu mau dan mampu menerima, senantiasa menanampakkan senyum. Semua tak ada yang sulit, dan tak ada yang membebani. Optimis selalu terpatri. Dan memang seperti inilah seharusnya sifat orang beriman. Berpikir tak ada yang mustahil terselesaikan, anti pesimis, menolak putus asa. Pun jikalau merasa perlu meangis, maka tak hanya mampu bangkit setelahnya, namun segera berlari lagi tanpa lelah. Tersenyum selalu dan tak henti melangkah.
Allah SWT berfirman, “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (Q.S. Yusuf [12]: 87).
Lebih lanjut Arif Perdana mengemukakan landasan-landasan yang bisa ditanamkan dalam hati ketika menjalani aktivitas.
Pertama, setiap bidang pekerjaan tentunya memiliki resiko tersendiri. Kedua, tidak ada bidang pekerjaan yang ideal yang dapat memenuhi semua harapan kita, tetapi yang harus kita usahakan adalah mendapatkan pekerjaan yang dapat menghargai prestasi dan memberikan prestise tersendiri bagi kita. Ketiga, hampir dapat dipastikan dimanapun kita bekerja kita akan menghadapi berbagai konflik, meskipun kita tidak terlibat di dalamnya namun pasti kita akan melihatnya ada di hadapan kita.”
Orang beriman semestinya menyadari bahwa hidup adalah ujian, perjalanan yang diberikan Allah sebagai proses pemantasan diri memasuki surga. Tugas kita adalah usaha optimal. Hasil urusan belakang.
Pastikanlah bahwa kita selalu bisa tersenyum setiap menjalani aktivitas. Enyahkan pikiran berat ataupun beban, terlebih mustahil. Mari tersenyumlah di paras maupun di hati agar menjadi penular motivasi.

Jika Anda menikmati apa yang Anda kerjakan, kesuksesan adalah milik Anda.
Jika Anda tidak menikmati apa yang Anda kerjakan,
Anda tidak akan menjadi sukses.
Mencintai pekerjaan Anda akan merubah segalanya.
Pekerjaan adalah kasih yang dinyatakan.

Anda tidak akan pernah meraih kesuksesan yang sejati kecuali Anda menyukai apa yang Anda kerjakan.
Kesempatan Anda untuk kesuksesan akan sama dengan jumlah kenikmatan yang Anda peroleh dalam pekerjaan Anda.
Jika Anda memiliki pekerjaan yang Anda tidak sukai, hadapilah hal itu atau keluarlah.
Pekerjaan adalah hadiah, bukan hukuman.
(anonymous)

HETEROGENITAS


Jangan sampai mengerdilkan pikiran menolak keberagaman, meremehkan mereka yang berbeda. Bumi tak hanya milik satu kelompok. Islam pun demikian adanya, tak elok jika berpikir hanya untuk dikuasai kelompok sendiri. meniadakan atau bahkan membinasakan mereka yang di luar dinding organisasi kita. merasa paling benar sendiri, lalu melecehkan yang lainnya. Jangan sampai berpikir kebenaran hanya ada di tangan kita. Allah berhak menitipkan kebenaran melalui siapa saja. Hilangkan klaim tentang “kita pasti bersih” atau “kita pasti benar” sebab memang kita bukan yang tergolong ma’shum, dan pasti banyak dosa yang masih melekat.
Jangan biarkan pikiran kerdil mengangkangi, berpikir bahwa ‘dakwah aman jika kita yang berkuasa’. Atau ‘pemerintahan aman jika orang-orang kita yang menjadi petinggi-petingginya’. Itu adalah egoistis. Dan Islam tak hanya milik satu golongan. Ukuran aman ialah ketika kemunkaran tak lagi ada kesempatan. Bukan ketika kita menjadi penguasa. Karena Allah pun tak menjamin bahwa diri kita pasti bersih bebas dosa dan kesalahan.
Menolak kritik merupakan keotoriteran. Padahal kritik adalah evaluasi, menjadi penilaian dan pertimbangan. Penilaian dari orang lain atas sikap yang telah kita lakukan pada masa yang telah lewat, dan pertimbangan dalam menentukan sikap di masa datang agar hal-hal yang tak patut terjadi—kesalahan—tidak berulang.
Heterogenitas melahirkan kemajuan. Ialah ketika satu golongan yang melakukan kesalahan, maka golongan lain mengingatkan. Dan mengingatkan bukan melecehkan. Saling mengingatkan atas dasar kecintaan—kepedulian. Kecintaan karena persamaan, yaitu sama-sama Islam, atau juga karena sama-sama diciptakan sebagai makhluk bernama manusia, yang saling membutuhkan kerjasama.
Dan sesungguhnya heterogenitas adalah kepastian. Memang merupakan setting dari Allah SWT. Lalu dengan perbedaan itu Allah memerintahkan untuk bersatu. Bahwa keberagaman memang telah Ia rencanakan. Dengan adanya keberagaman/ perbedaan kemudian ada gagasan untuk menyatukan. Jika sejak awal tak ada perbedaan bukan bersatu namanya, karena bersatu ialah mengumpulkan perbedaan-perbedaan yang berserakan untuk dipertemukan.
Dalam surah al-Hujurat ayat 13 Allah SWT menegaskan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S al-Hujurat [49]: 13)
Ah, mungkin saya terlalu banyak bicara. Silakan mempersepsikan sendiri. dan sungguh Allah saja yang Maha Mengetahui hakikat kebenaran.

PERPUTARAN


Hari ini mungkin saya bisa bersabar, anda yang terserang emosi. Namun jangan menyempitkan pikiran dan berpikir bahwa saya pasti mampu terus mempertahankan kesabaran. Tidaklah mustahil bahwa esok hari saya yang mengidap temperamental yang sangat dan Andalah yang menasihati.
Perputaran tak bisa dihindari. Roda memang terus berputar. Ini bisa dialami siapa saja, Semua akan ada dinamikanya. Setiap saat, setiap waktu, tidak sedikit orang yang mengadakan pergerakan dan proses dinamisasi yang mana berpengaruh dalam banyak aspek. Setiap hari, setiap jam bahkan setiap detiknya akan ada perubahan yang terjadi. Yang lemah tidak selamanya lemah. Yang kalah tidak selamanya kalah. Yang siap tak selamanya siap. Akan ada kejutan dari setiap dinamika kehidupan yang tak pernah terprediksi di pikiran manusia. Itulah roda kehidupan manusia yang kita kenal dengan nama “takdir”. Sehingga Anis Matta pun berpendapat, “Membaca takdir Allah adalah upaya yg tak boleh berhenti untuk memahami kehendakNya. Belajarlah menitipkan kehendak kita dalam kehendak-Nya”.
Kesulitanmu hari ini hanya sebagian kecil dari seribu bahkan sejuta kesulitan manusia lain di dunia ini. Tak perlu merasa paling sial dan menderita. Jatah kesulitan itu sedang Allah timpakan padamu hari ini. Kesulitan dan kemudahan sessungguhnya telah diplot oleh Allah hari ini kepada siapa, sesok kepada siapa. kita  ketika mendapat jatah nyaman tak perlu terlalu riang dan ketika diberi jatah susah tak perlu begitu meratapi/ mendramatisir. Karena sesungguhnya keduanya adalah niscaya (pasti) diberi kepada setiap hamba-nya. Inilah perputaran.
Rugi yang kita dapat hari ini hanya terjadi hari ini, esok yang datang adalah kemudahan-kemudahan. Karena Allah telah menyatakan dalam kalam-Nya bahwa ‘sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan’. (Q.S Alam Nasyrah [94]: 6). Yang dahulu disebutkan ialah ‘kesulitan’. Artinya kemudahan Allah beri sebagai hadiah dan akan selalu menyertai di kehidupan kita. jika ‘kemudahan’ yang disebutkan duluan maka ‘kesulitan’lah yang selalu membersamai kita.  
Nikmatilah segala yang patut dinikmati. Hadapilah kenyataan hidup seperti apapun itu, karena sesungguhnya Allah pasti menciptakan jalan keluar dari setiapnya. ‘Kesulitan bukan untuk ditakuti tapi dihadapi’, begitu K.H. Zainuddin MZ berpesan.

CARA KITA MEMPERLAKUKAN


Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”.
Demikian adalah wejangan yang disampaikan Bung Karno pada Pidato HUT Proklamasi 1956. Pernyataan Bung Karno ini oleh salah seorang guru saya diungkapkan dengan bahasa yang lain: ;Jangan tanyakan apa yang aku dapat dari Negara, tapi bertanyalah tentang apa yang telah aku berikan pada Negara’. Logika yang ingin disampaikan oleh Bung Karno ialah tentang sumbangsih (kontribusi), bahwasanya kita lebih perlu banyak memberi daripada banyak menuntut.
Manusia punya kecenderungan, salah satunya ialah untuk dihargai keberadaannya (eksistensi) sebagai manusia—juga dapat dikatakan ‘ingin selalu diperlakukan dengan layak’. Siapapun tentu tidak ingin mendapat sikap yang menurut penilaiannya menyakitkan. Hal tersebut dalam bahasa familiarnya yaitu perlakuan yang ‘manusiawi’. Secara mudah, manusiawi dapat diartikan dengan ‘memanusiakan manusia’ atau ‘memperlakukan manusia sebagai manusia’.
Mengenai perlakuan ini sayangnya belum semua orang mampu mengelola diri sehingga melahirkan atmosfer kenyamanan bagi sekitar. Saya yakin anda pun ingin mendapat perlakuan seperti yang telah tersebut di atas (manusiawi). Karena ‘perlakuan manusiawi’ itu walaupun tidak ada peraturan tertulis (hukum)-nya akan dianggap keadaan ideal dan mesti dijalankan. Inilah yang disebut ‘nilai universal’, artinya mendapat kesepakatan di manapun berada.
Paradigma yang harus dibangun ialah ‘jika kita ingin diperlakukan dengan baik maka kita harus memperlakukan dengan baik’. Jangan mengharap kebaikan sebelum kita mampu berbuat baik. Berharap dapat perlakuan yang santun berarti juga kita harus memaksa diri kita untuk menyajikan kesantunan itu pada orang lain. Bagaimana bisa orang akan memberi kesantunan jika kita sendiri tak respek terhadap kesantunan itu. Ketika kita berpikir tentang diberi, maka kita harus memikirkan pula perihal memberi.
Jangan harap orang akan baik jika kita masih belum menghargai kebaikan. ‘Rajin meminta tapi enggan memberi’. Siapa yang akan betah dengan orang yang demikian. Ini adalah tentang memberi. Paradigma ketika masuk suatu perkumpulan/ organisasi pun demikian semestinyaa. Apa yang akan kita kontribusikan pada suatu organisasi yang kita ikuti. Ketika kita banyak berharap memperoleh ini dan itu darinya maka kecenderungan yang ada ialah timbulnya kecewa, karena seringkali realita (kenyataan yang terjadi) tak sesuai idealita (imajinasi tentang harapan yang diinginkan).
Sensitivitas terhadap perlakuan berbeda-beda setiap individu. Namun intinya semua ingin diperlakukan dengan nyaman, tidak menimbulkan kerisihan dan keengganan. Semua ingin nyaman, ingin dihargai, dimanusiakan. Mari memperlakukan dengan layak. Seperti engkau yang ingin diperlakukan layak, maka seperti itu pulalah saya dan yang lainnya. Dan luluhkanlah sikap meremehkan!

Minggu, 25 November 2012

MENGGAGAS IDEALITA


 Merumuskan idealita juga tak bisa terlalu tinggi. Sejak awal penentuannya kita sudah harus mengkomparasikannya dengan realita terkait. Idealita yang terlalu melambung akan sulit merelisasikannya. Jangan terlalu idealis juga.”
Mari kita cermati pernyataan di atas. Para pemuda—yang dalam masa klimaksnya—apa jadinya jika punya harapan yang sempit, cita-cita yang amat remeh, serta memiliki pemikiran yang dangkal. Tidak punya idealita yang melangit, pemikiran yang fantastis ‘di luar nalar’. Atau dengan kata lain ia telah ‘termakan realitas’. Cenderung berpikir biasa dan bertindak apa adanya seperti kebanyakan orang dan mengikuti apa yang telah menjadi kelaziman. Ketika itu dirasa ‘sedikit berbeda’ maka tak dilakukan karena dianggap ‘aneh’, ‘melawan arus’, dan sebagainya.
Bagi saya pemikiran yang begitu-begitu saja (linear) tidak pantas disebut pemuda. Terlebih orang-orang yang gandrung mempertahankan sesuatu yang sudah menjadi kultur, baik dalam lingkungan, adat, organisasi, dsb. Saya berpendapat bahwa pemiikiran seperti ini—lebih suka mengikuti arus—adalah pemikiran orang tua, yang memang sudah bukan masanya lagi untuk memiliki banyak inovasi (perubahan). Mereka (orang tua) hanya berpikir bagaimana masa depan mereka beberapa tahun ke depan bisa digunakan untuk berbagai aktivitas manfaat yang sifatnya ritual, dan akhir hidupnya berujung husnul khatimah.
Berbeda dengan pemuda, yang memang seharusnya masih punya harapan raksasa serta impian besar dalam dunia ini. Yang mana muara dari segala bentuk perjuangan yang mereka lakukan tak lain adalah sesuatu yang dinamai ‘perbaikan’.
Cita-cita bertumbuhkembang setiap masanya. Ia tidak stagnan. Cita-cita mengikuti zaman dan capaian. Apa yang telah berhasil kita raih hari ini jangan sampai menjadikan berhenti belajar. Mengikuti perkembangan zaman, pemikiran tentang harapan-harapan ideal tentang masa depan akan mengikuti. Gambaran kehidupan yang kita ingini semakin meningkat, dan itu menjadi tantangan untuk merengkuhnya. Sebab apa guna impian jika tak untuk dijadikan kenyataan. Apa gunanya idealita yang telah kita bangun jika tak diupayakan untuk dipertemukan dengan realita.
Membahas idealita berarti kita menempatkan cita sebagai patokan dalam langkah kehidupan. Idealita dapat berarti penyesuaian terhadap apa yang dicita-citakan. Orang yang idealis berarti memiliki harapan-harapan (cita-cita) dalam banyak hal. Hal-hal yang tingkat kepentingannya kecil pun akan dengan matang direncanakan. Dan memang itulah seharusnya yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang dalam fase ‘pemuda’.
Berpikir biasa adalah ciri orang tua. Berpikir tidak biasa menandakan karakter pemuda.  Jangan mau diracuni oleh pikiran tua.Tak usah risih dikatakan dengan bermacam sebutan. Kita bertindak bukan untuk dinilai orang. Ciptakanlah gagasan hingga di luar nalar kebanyakan manusia. Berpikirlah sampai kau dikatakan ‘gila’, maka engkau adalah pemuda.


Ahada Ramadhana
Humas KAMMI UII