Halaman

Jumat, 30 November 2012

RANCANGAN


Pekerjaan persiapan itu perlu kawan! Targetan dakwah harus dirancang, diprogramkan. Sedangkan para pelaku kejahatan saja rela dengan serius merancang “targetan” mereka. Mengapa dakwah yang sudah jelas diperintahkan oleh Allah tidak dipersiapkan secara matang. Bukan hanya siap mengejar targetan, namun siap juga menghadapi segala kendalanya. Berupa apapun itu, apakah hambatan teknis, dana, motivasi dan lain sebagainya. Bersiap-siagalah setiap saat karena “musibah” itu tak tentu kapan datangnya. Jangan menunggu sudah hujan kita baru bingung membeli payung. Jangan sampai musuh sudah di depan mata kita baru mengisi peluru. Jangan terlalu menunjukkan kepolosan.
Mempersiapkan diri secara spiritual dengan iman dan akidah, secara intelektual dengan ilmu dan tsaqafah, dan secara fisik dengan olahraga. Dan tak usah latah sehingga mempersiapkan sesuatu secara berlebihan. Mengadakan persiapan secara tidak wajar, mendahulukan hal-hal yang bersifat tambahan/ accessories namun esensinya tak dipenuhi.
Jangan buru-buru memikirkan hasil capaian. Tapi lebih penting memikirkan langkah-langkah/ cara mencapai cita-cita itu.  Kita adalah gerakan bersama. Sukses dan gagal menjadi tanggungan bersama. Apa saja yang perlu dibenahi dari gerakan kita adalah tugas bersama. Dari pemutusan bersama/ musyawarah inilah nantinya akan ada pembagian tugas individu kader. Di sini sikap pro-aktif dari masing-masing kader dituntut. “Sadar diri” bahwa kita punya tugas dakwah personal. Kita akan diproyeksikan ke mana, kita harus siap.
Bukan lagi sedia payung sebelum hujan. Namun lebih dari itu kita mampu mempersiapkan kebutuhan-kebutuhan penting sebelum kebutuhan itu diperlukan. Kita ini pemuda, kawan! Sedia perlengkapan yang memang patut disediakan untuk perjuangan dakwah ini. Tak cukup hanya payung. Jangan malah hujan sudah turun dengan derasnya kita baru ingin membeli payung. Atau bahkan baru mempersiapkan uang dan bertanya tempat yang menjual payung itu. Sangat tertinggal sekali. Jika perlu, sedia “rumah” sebelum hujan. Rumah dengan segala fasilitas pendukungnya. Rumah dengan tetek-bengeknya. Sebab itu memang diperlukan. Bukan bermewah-mewahan. Anis Matta menyatakan, Pikiran kita selalu terfokus pada bagaimana mensiasati keterbatasan. Bukan pada bagaimana menciptakan kemelimpahan. Karena yang kita pikirkan adalah bagaimana mensiasati keterbatasan, maka selamanya keterbatasan menjadi realitas kita. Kemelimpahan tidak pernah jadi nyata, karena kita memang tidak memikirkannya.
Bukan ingin bermewah-mewahan. Namun dakwah ini perlu persiapan matang dan pengorbanan besar. Bukan permainan dan coba-coba yang bisa dikerjakan tanpa persiapan sekalipun. Ini proyek besar menyatukan umat di bawah panji Islam. Dan ini kecerdikan memainkan keadaan. Alangkah sayangnya segala fasilitas yang ada jika kta tidak memanfaatkannya, dan malah membiarkan itu semua dijarah para penjahat dakwah. Apakah kita rela membiarkan fasilitas itu untuk mereka? Itu sama saja kita mengembangbiakkan kemunkaran.
Ada targetan yang harus dirumuskan dalam organisasi pergerakan. Dimana rumusan itu dirancang dengan pembagian yang jelas dan tepat pada masing-masing kader (disesuaikan kualifikasi masing-masing kader) yang  selanjutnya oleh kader dapat direalisasikan dengan sungguh-sungguh. Targetan hendaknya tidak memberatkan kader dan real untuk dikerjakan. Jangan sampai tuntutan organisasi itu membebankan kader sehingga malah tugas individual tidak dikerjakan (karena memberatkan tadi) dan akhirnya targetan tidak tercapai. Ini tentu tidak diinginkan. Yang efektif ialah ketika pekerjaan itu ringan namun punya hasil besar. Bukan sekadar kerja berat, namun ternyata tak menghasilkan manfaat yang banyak. Kerja cerdas bukan sekadar kerja keras. Namun lebih baik lagi kedua-duanya: kerja keras dan kerja cerdas. Ada nilai perjuangan dan pengorbanan di dalamnya. Karena dakwah memang butuh perjuangan dan pengorbanan. Dan jika bisa menciptakan kerja ikhlas, itu tentu lebih baik lagi.
Khayalan dan cita-cita itu nyaris sama persis. Mereka sama-sama berupa kumpulan harapan, keinginan, dan impian akan sesuatu yang besar maupun kecil, tetap ingin dicapai. Namun satu hal yang membedakan ialah dimana khayalan itu adalah impian yang tak disertai implementasi dan upaya mewujudkannya sedangkan cita-cita adalah kumpulan harapan, keinginan, dan impian yang disertai usaha mewujudkannya. Perbedaannya adalah terletak pada implementasi konsep ke realisasi. Yaituaction.
kita tak sedang mengejar sebuah kesemuan. Dalam konsep takdir-Nya bahwa telah ditetapkan adalah Islam menjadi pemenang alam raya ini. Khairu ummah, khalifah, dan abdullah. ingatlah sematan-sematan yang Allah berikan itu kawan. 

MELAMPIASKAN


Terkadang dalam melintasi trek kehidupan kita temui jalan yang bagi kita tak menyenangkan, menjemukan dan membosankan. Namun itu justru mendatangi dalam banyak waktu. Tentu akan ada perasaan ingin segera merampungkan agenda yang kita anggap menjemukan itu. Segera saja kita tuntaskan agenda-agenda tersebut (yang tak kita anggap nyaman). Sebaliknya kepada agenda yang kita senangi akan kita nikmati dengan kesungguhan, enjoy, dan akan terasa singkat sekali. Beginilah retorika dunia.
Mengenai agenda yang menjenuhkan, memang tak bisa kita mencoba lari darinya sebab itu berupa ujian yang Allah beri sebagai proses mendewasakan. Belajar tentang ilmu ikhlas. Belajar tentang menerima. Berlatih tentang sabar. Banyak hal yang jika kita gali merupakan wujud didikan dari Allah atas diri kita umat Islam, sebab kita—umat Islam—tengah dipersiapkan dan ditugaskan memainkan peran khalifah fil ard (pemimpin di muka bumi) dan abdullah (abdi Allah). Maka dari itu Allah secara intens akan memberi ujian-ujian agar kelak kita pantas memasuki jenjang kelas yang semakin menanjak, dengan kompleksitas problematika yang meningkat pula tentunya.
Sebagian orang menjalani aktivitas menjenuhkan hanyalah seperti formalitas, menjalani sekadarnya saja. Dan akan berpikir agar kejemuan aktivitasnya itu segera dapat terselesaikan. Menjalani agenda yang tak kita kehendaki akan ada perasaan terbebani, risih, dan tak nyaman. Sehingga tak pelak kita akan memerlukan suatu “agenda tertentu” sebagai pelampiasan. “Agenda tertentu” yang dijadikan pelampiasan itu ialah berupa “aktivitas yang menyenangkan”—sesuai persepsi kita tentunya.
Pelampiasan itu sebagai obat atas berolehnya aktivitas yang menyebabkan ketidaknyamanan situasi yang menimpa pada diri, sebab tak jarang kita merasa seperti mendapat musibah yang begitu berat ketika menemui agenda yang kontra dengan keinginan kita. ada perasaan ingin membalas dendam sebab merasa telah mendapatkan “perlakuan buruk” dari-Nya. Ada perasaan ketidakmenerimaan atas kuasa-Nya tentang takdir yang diturunkan pada kita. ada kecenderungan “membalas” sehingga terasa plong dan keadaan yang diterima menjadi netral kembali: ketidaknyamanan didapat, lalu setelahnya kenyamanan pun beroleh.
Terkait menyenangi aktivitas/ pekerjaan ini, Arif Perdana berpendapat,
“Adakalanya orang yang bekerja dengan status sebagai karyawan bekerja di bawah tekanan, dalam arti tidak merasa nyaman ketika melakukan pekerjaan itu. Berbeda halnya dengan orang yang bekerja sebagai pedagang, petani ataupun nelayan, mereka tidak menyandang status karyawan, tetapi mereka memiliki kebebasan untuk mengatur cara mereka dalam bekerja. Orang mungkin beranggapan hal semacam ini wajar. Tapi menurut saya, akan lebih baik ketika menikmati pekerjaan kita, walau berat tapi mengasyikkan. Kita berharap begitu. Namun jika kita tetap juga tidak mampu untuk berusaha menyenangi pekerjaan yang kita lakukan, keluarlah dari pekerjaan kita saat ini dengan syarat kita harus memiliki pilihan dan rencana pekerjaan lain yang hendak kita lakukan jika kita telah resign dari pekerjaan kita saat ini. Jika tidak berusahalah untuk senantiasa bersyukur atas pekerjaan yang telah kita miliki saat ini.” (Arif Perdana, 2011).
Namun sesungguhnya “agenda menjemukan” itu hanyalah persepsi. Suatu pemikiran kita yang mengarahkan pada kenyamanan ataupun kebosanan itu hanyalah persepsi. Kita merasa perlu pelampiasan adalah karena merasa telah mengalami proses ketidaknyamanan dan menjemukan. Ketika tak beranggapan bahwa suatu agenda yang kita jalani itu berupa kebosanan maka tak akan pernah kita memerlukan sesuatu aktivitas lain sebagai pelampiasan. Sebab berarti kita telah merasa setiap aktivitas maupun ujian yang Ia turunkan berupa hal menyenangkan.
Ketika kita berpikir bahwa segala adalah menyenangkan dan berupa kenyamanan maka ketersenyuman selalu menyeringai dalam aktivitas keseharian. Hidup sungguh berasa ringan dan nyaman, tanpa ada perasaan beban. Sesungguhnya orang-orang yang mampu tersenyum dalam setiap aktivitasnya adalah tipe orang yang telah menemukan makna hidupnya. Ia selalu mau dan mampu menerima, senantiasa menanampakkan senyum. Semua tak ada yang sulit, dan tak ada yang membebani. Optimis selalu terpatri. Dan memang seperti inilah seharusnya sifat orang beriman. Berpikir tak ada yang mustahil terselesaikan, anti pesimis, menolak putus asa. Pun jikalau merasa perlu meangis, maka tak hanya mampu bangkit setelahnya, namun segera berlari lagi tanpa lelah. Tersenyum selalu dan tak henti melangkah.
Allah SWT berfirman, “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (Q.S. Yusuf [12]: 87).
Lebih lanjut Arif Perdana mengemukakan landasan-landasan yang bisa ditanamkan dalam hati ketika menjalani aktivitas.
Pertama, setiap bidang pekerjaan tentunya memiliki resiko tersendiri. Kedua, tidak ada bidang pekerjaan yang ideal yang dapat memenuhi semua harapan kita, tetapi yang harus kita usahakan adalah mendapatkan pekerjaan yang dapat menghargai prestasi dan memberikan prestise tersendiri bagi kita. Ketiga, hampir dapat dipastikan dimanapun kita bekerja kita akan menghadapi berbagai konflik, meskipun kita tidak terlibat di dalamnya namun pasti kita akan melihatnya ada di hadapan kita.”
Orang beriman semestinya menyadari bahwa hidup adalah ujian, perjalanan yang diberikan Allah sebagai proses pemantasan diri memasuki surga. Tugas kita adalah usaha optimal. Hasil urusan belakang.
Pastikanlah bahwa kita selalu bisa tersenyum setiap menjalani aktivitas. Enyahkan pikiran berat ataupun beban, terlebih mustahil. Mari tersenyumlah di paras maupun di hati agar menjadi penular motivasi.

Jika Anda menikmati apa yang Anda kerjakan, kesuksesan adalah milik Anda.
Jika Anda tidak menikmati apa yang Anda kerjakan,
Anda tidak akan menjadi sukses.
Mencintai pekerjaan Anda akan merubah segalanya.
Pekerjaan adalah kasih yang dinyatakan.

Anda tidak akan pernah meraih kesuksesan yang sejati kecuali Anda menyukai apa yang Anda kerjakan.
Kesempatan Anda untuk kesuksesan akan sama dengan jumlah kenikmatan yang Anda peroleh dalam pekerjaan Anda.
Jika Anda memiliki pekerjaan yang Anda tidak sukai, hadapilah hal itu atau keluarlah.
Pekerjaan adalah hadiah, bukan hukuman.
(anonymous)

HETEROGENITAS


Jangan sampai mengerdilkan pikiran menolak keberagaman, meremehkan mereka yang berbeda. Bumi tak hanya milik satu kelompok. Islam pun demikian adanya, tak elok jika berpikir hanya untuk dikuasai kelompok sendiri. meniadakan atau bahkan membinasakan mereka yang di luar dinding organisasi kita. merasa paling benar sendiri, lalu melecehkan yang lainnya. Jangan sampai berpikir kebenaran hanya ada di tangan kita. Allah berhak menitipkan kebenaran melalui siapa saja. Hilangkan klaim tentang “kita pasti bersih” atau “kita pasti benar” sebab memang kita bukan yang tergolong ma’shum, dan pasti banyak dosa yang masih melekat.
Jangan biarkan pikiran kerdil mengangkangi, berpikir bahwa ‘dakwah aman jika kita yang berkuasa’. Atau ‘pemerintahan aman jika orang-orang kita yang menjadi petinggi-petingginya’. Itu adalah egoistis. Dan Islam tak hanya milik satu golongan. Ukuran aman ialah ketika kemunkaran tak lagi ada kesempatan. Bukan ketika kita menjadi penguasa. Karena Allah pun tak menjamin bahwa diri kita pasti bersih bebas dosa dan kesalahan.
Menolak kritik merupakan keotoriteran. Padahal kritik adalah evaluasi, menjadi penilaian dan pertimbangan. Penilaian dari orang lain atas sikap yang telah kita lakukan pada masa yang telah lewat, dan pertimbangan dalam menentukan sikap di masa datang agar hal-hal yang tak patut terjadi—kesalahan—tidak berulang.
Heterogenitas melahirkan kemajuan. Ialah ketika satu golongan yang melakukan kesalahan, maka golongan lain mengingatkan. Dan mengingatkan bukan melecehkan. Saling mengingatkan atas dasar kecintaan—kepedulian. Kecintaan karena persamaan, yaitu sama-sama Islam, atau juga karena sama-sama diciptakan sebagai makhluk bernama manusia, yang saling membutuhkan kerjasama.
Dan sesungguhnya heterogenitas adalah kepastian. Memang merupakan setting dari Allah SWT. Lalu dengan perbedaan itu Allah memerintahkan untuk bersatu. Bahwa keberagaman memang telah Ia rencanakan. Dengan adanya keberagaman/ perbedaan kemudian ada gagasan untuk menyatukan. Jika sejak awal tak ada perbedaan bukan bersatu namanya, karena bersatu ialah mengumpulkan perbedaan-perbedaan yang berserakan untuk dipertemukan.
Dalam surah al-Hujurat ayat 13 Allah SWT menegaskan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S al-Hujurat [49]: 13)
Ah, mungkin saya terlalu banyak bicara. Silakan mempersepsikan sendiri. dan sungguh Allah saja yang Maha Mengetahui hakikat kebenaran.

PERPUTARAN


Hari ini mungkin saya bisa bersabar, anda yang terserang emosi. Namun jangan menyempitkan pikiran dan berpikir bahwa saya pasti mampu terus mempertahankan kesabaran. Tidaklah mustahil bahwa esok hari saya yang mengidap temperamental yang sangat dan Andalah yang menasihati.
Perputaran tak bisa dihindari. Roda memang terus berputar. Ini bisa dialami siapa saja, Semua akan ada dinamikanya. Setiap saat, setiap waktu, tidak sedikit orang yang mengadakan pergerakan dan proses dinamisasi yang mana berpengaruh dalam banyak aspek. Setiap hari, setiap jam bahkan setiap detiknya akan ada perubahan yang terjadi. Yang lemah tidak selamanya lemah. Yang kalah tidak selamanya kalah. Yang siap tak selamanya siap. Akan ada kejutan dari setiap dinamika kehidupan yang tak pernah terprediksi di pikiran manusia. Itulah roda kehidupan manusia yang kita kenal dengan nama “takdir”. Sehingga Anis Matta pun berpendapat, “Membaca takdir Allah adalah upaya yg tak boleh berhenti untuk memahami kehendakNya. Belajarlah menitipkan kehendak kita dalam kehendak-Nya”.
Kesulitanmu hari ini hanya sebagian kecil dari seribu bahkan sejuta kesulitan manusia lain di dunia ini. Tak perlu merasa paling sial dan menderita. Jatah kesulitan itu sedang Allah timpakan padamu hari ini. Kesulitan dan kemudahan sessungguhnya telah diplot oleh Allah hari ini kepada siapa, sesok kepada siapa. kita  ketika mendapat jatah nyaman tak perlu terlalu riang dan ketika diberi jatah susah tak perlu begitu meratapi/ mendramatisir. Karena sesungguhnya keduanya adalah niscaya (pasti) diberi kepada setiap hamba-nya. Inilah perputaran.
Rugi yang kita dapat hari ini hanya terjadi hari ini, esok yang datang adalah kemudahan-kemudahan. Karena Allah telah menyatakan dalam kalam-Nya bahwa ‘sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan’. (Q.S Alam Nasyrah [94]: 6). Yang dahulu disebutkan ialah ‘kesulitan’. Artinya kemudahan Allah beri sebagai hadiah dan akan selalu menyertai di kehidupan kita. jika ‘kemudahan’ yang disebutkan duluan maka ‘kesulitan’lah yang selalu membersamai kita.  
Nikmatilah segala yang patut dinikmati. Hadapilah kenyataan hidup seperti apapun itu, karena sesungguhnya Allah pasti menciptakan jalan keluar dari setiapnya. ‘Kesulitan bukan untuk ditakuti tapi dihadapi’, begitu K.H. Zainuddin MZ berpesan.

CARA KITA MEMPERLAKUKAN


Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”.
Demikian adalah wejangan yang disampaikan Bung Karno pada Pidato HUT Proklamasi 1956. Pernyataan Bung Karno ini oleh salah seorang guru saya diungkapkan dengan bahasa yang lain: ;Jangan tanyakan apa yang aku dapat dari Negara, tapi bertanyalah tentang apa yang telah aku berikan pada Negara’. Logika yang ingin disampaikan oleh Bung Karno ialah tentang sumbangsih (kontribusi), bahwasanya kita lebih perlu banyak memberi daripada banyak menuntut.
Manusia punya kecenderungan, salah satunya ialah untuk dihargai keberadaannya (eksistensi) sebagai manusia—juga dapat dikatakan ‘ingin selalu diperlakukan dengan layak’. Siapapun tentu tidak ingin mendapat sikap yang menurut penilaiannya menyakitkan. Hal tersebut dalam bahasa familiarnya yaitu perlakuan yang ‘manusiawi’. Secara mudah, manusiawi dapat diartikan dengan ‘memanusiakan manusia’ atau ‘memperlakukan manusia sebagai manusia’.
Mengenai perlakuan ini sayangnya belum semua orang mampu mengelola diri sehingga melahirkan atmosfer kenyamanan bagi sekitar. Saya yakin anda pun ingin mendapat perlakuan seperti yang telah tersebut di atas (manusiawi). Karena ‘perlakuan manusiawi’ itu walaupun tidak ada peraturan tertulis (hukum)-nya akan dianggap keadaan ideal dan mesti dijalankan. Inilah yang disebut ‘nilai universal’, artinya mendapat kesepakatan di manapun berada.
Paradigma yang harus dibangun ialah ‘jika kita ingin diperlakukan dengan baik maka kita harus memperlakukan dengan baik’. Jangan mengharap kebaikan sebelum kita mampu berbuat baik. Berharap dapat perlakuan yang santun berarti juga kita harus memaksa diri kita untuk menyajikan kesantunan itu pada orang lain. Bagaimana bisa orang akan memberi kesantunan jika kita sendiri tak respek terhadap kesantunan itu. Ketika kita berpikir tentang diberi, maka kita harus memikirkan pula perihal memberi.
Jangan harap orang akan baik jika kita masih belum menghargai kebaikan. ‘Rajin meminta tapi enggan memberi’. Siapa yang akan betah dengan orang yang demikian. Ini adalah tentang memberi. Paradigma ketika masuk suatu perkumpulan/ organisasi pun demikian semestinyaa. Apa yang akan kita kontribusikan pada suatu organisasi yang kita ikuti. Ketika kita banyak berharap memperoleh ini dan itu darinya maka kecenderungan yang ada ialah timbulnya kecewa, karena seringkali realita (kenyataan yang terjadi) tak sesuai idealita (imajinasi tentang harapan yang diinginkan).
Sensitivitas terhadap perlakuan berbeda-beda setiap individu. Namun intinya semua ingin diperlakukan dengan nyaman, tidak menimbulkan kerisihan dan keengganan. Semua ingin nyaman, ingin dihargai, dimanusiakan. Mari memperlakukan dengan layak. Seperti engkau yang ingin diperlakukan layak, maka seperti itu pulalah saya dan yang lainnya. Dan luluhkanlah sikap meremehkan!

Minggu, 25 November 2012

MENGGAGAS IDEALITA


 Merumuskan idealita juga tak bisa terlalu tinggi. Sejak awal penentuannya kita sudah harus mengkomparasikannya dengan realita terkait. Idealita yang terlalu melambung akan sulit merelisasikannya. Jangan terlalu idealis juga.”
Mari kita cermati pernyataan di atas. Para pemuda—yang dalam masa klimaksnya—apa jadinya jika punya harapan yang sempit, cita-cita yang amat remeh, serta memiliki pemikiran yang dangkal. Tidak punya idealita yang melangit, pemikiran yang fantastis ‘di luar nalar’. Atau dengan kata lain ia telah ‘termakan realitas’. Cenderung berpikir biasa dan bertindak apa adanya seperti kebanyakan orang dan mengikuti apa yang telah menjadi kelaziman. Ketika itu dirasa ‘sedikit berbeda’ maka tak dilakukan karena dianggap ‘aneh’, ‘melawan arus’, dan sebagainya.
Bagi saya pemikiran yang begitu-begitu saja (linear) tidak pantas disebut pemuda. Terlebih orang-orang yang gandrung mempertahankan sesuatu yang sudah menjadi kultur, baik dalam lingkungan, adat, organisasi, dsb. Saya berpendapat bahwa pemiikiran seperti ini—lebih suka mengikuti arus—adalah pemikiran orang tua, yang memang sudah bukan masanya lagi untuk memiliki banyak inovasi (perubahan). Mereka (orang tua) hanya berpikir bagaimana masa depan mereka beberapa tahun ke depan bisa digunakan untuk berbagai aktivitas manfaat yang sifatnya ritual, dan akhir hidupnya berujung husnul khatimah.
Berbeda dengan pemuda, yang memang seharusnya masih punya harapan raksasa serta impian besar dalam dunia ini. Yang mana muara dari segala bentuk perjuangan yang mereka lakukan tak lain adalah sesuatu yang dinamai ‘perbaikan’.
Cita-cita bertumbuhkembang setiap masanya. Ia tidak stagnan. Cita-cita mengikuti zaman dan capaian. Apa yang telah berhasil kita raih hari ini jangan sampai menjadikan berhenti belajar. Mengikuti perkembangan zaman, pemikiran tentang harapan-harapan ideal tentang masa depan akan mengikuti. Gambaran kehidupan yang kita ingini semakin meningkat, dan itu menjadi tantangan untuk merengkuhnya. Sebab apa guna impian jika tak untuk dijadikan kenyataan. Apa gunanya idealita yang telah kita bangun jika tak diupayakan untuk dipertemukan dengan realita.
Membahas idealita berarti kita menempatkan cita sebagai patokan dalam langkah kehidupan. Idealita dapat berarti penyesuaian terhadap apa yang dicita-citakan. Orang yang idealis berarti memiliki harapan-harapan (cita-cita) dalam banyak hal. Hal-hal yang tingkat kepentingannya kecil pun akan dengan matang direncanakan. Dan memang itulah seharusnya yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang dalam fase ‘pemuda’.
Berpikir biasa adalah ciri orang tua. Berpikir tidak biasa menandakan karakter pemuda.  Jangan mau diracuni oleh pikiran tua.Tak usah risih dikatakan dengan bermacam sebutan. Kita bertindak bukan untuk dinilai orang. Ciptakanlah gagasan hingga di luar nalar kebanyakan manusia. Berpikirlah sampai kau dikatakan ‘gila’, maka engkau adalah pemuda.


Ahada Ramadhana
Humas KAMMI UII

Sabtu, 02 Juni 2012

MENELAAH KEMERDEKAAN INDONESIA



Merdeka berarti bebas dari menghamba, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Demikian adalah definisi merdeka menurut KBBI. Dalam konteks kenegaraan maka berarti merdeka adalah tak ada gangguan (penjajahan) lagi terhadap bangsa Indonesia dalam bentuk apapun juga, fisik ataupun psikologis (pemikiran).
Ada beberapa hal penting yang ingin saya kemukakan melalui tulisan ini. Pertama, bahwasanya pemuda adalah kaum paling ideal untuk menjadi penggerak kebangkitan. Semangat dan idealisme yang klimaks dari para pemuda itu harus dituntun ke arah pemajuan bangsa.
Maka yang perlu diperbaiki adalah kepribadian para pemuda, ini menyangkut moral, dan habitual para pemuda masa kini. Memang kini banyak pemuda yang aktif dalam berbagai aktivitas sosial ataupun keagamaan. Idealnya memang demikian adanya, pemuda adalah nakhoda bangsa yang semestinya membawa Indonesia menjadi negara maju. Namun yang perlu perhatian khusus ialah bahwa tidak sedikit pula yang gemar dengan aktivitas hedon (dugem, mabuk, pacaran).  Akan sangat disayangkan—bahkan berbahaya—ketika pemuda yang dengan daya optimumnya tidak gandrung dengan hal-hal ilmiah/ intelektual dalam rangka pemajuan bangsa.
Kedua, bahwasanya gerakan kebangkitan nasional digagas oleh para pemuda Islam. Boedi Oetomo yang dipuja sebagai penyadar dan pembangkit nasionalisme ternyata hanya distorsi sejarah.
Dalam buku “Api Sejarah Jilid I” karya Ahmad Mansur Suryanegara disebutkan, ketika Soetomo masih sebagai siswa STOVIA, 20 Mei 1908, walaupun berasal dari Sekolah Dasar, sudah berusia 20 tahun. Adapun ideologi yang ingin ditegakkannya adalah nasionalisme Jawa sebagai lawan dari nasionalisme yang diajarkan oleh Djamiat Choir, yakni Islam, 17 Juli 1905. Pengaruh Nasionalisme Timur Tengah sangat kuat terhadap Djamiat Choir. Dalam Algemene Vergadering Boedi Oetomo di Bandung, 1915 M, sikap Djawanismenya semakin dipertegas. R. Sastrowidjono yang terpilih sebagai Hoofdbestuur (Ketua), meminta hadirin untuk berdiri dan sama-sama menyerukan: Leve pulau Djawa, Leve bangsa Djawa, Leve Boedi Oetomo (Hidup pulau Jawa, Hidup bangsa Jawa, hidup Boedi Oetomo).
Lebih lanjut Ahmad Mansur Suryanegara menuliskan, walaupun Boedi Oetomo sudah berusia sembilan tahun, tetap tidak berpihak kepada ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat saat itu. Lalu bagaimana gerakan Tri Koro dharmo-Jong Java sebagai underbouw dari Boedi Oetomo. Tentu orientasinya sejalan dengan induknya, Boedi Oetomo, yakni menentang Islam.
Sedangkan Slametmuljana dalam “Nasionalisme sebagai Modal Perdjuangan Bangsa Indonesia” menjelaskan, Tjipto Mangoenkoesoemo selanjutnya keluar mninggalkan Boedi Oetomo. Kemudian diikuti pula Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara yang keluar karena manila Boedi Oetomo sebagai gerakan elite bangsawan yang eksklusif.
Ketiga, kiranya kita perlu menelaah lagi makna merdeka. Saya memandang bahwa kemerdekaan tak hanya diukur dari fisik, namun juga aspek psikologis/ pemikiran. Secara fisik boleh kita akui Indonesia sudah merdeka. Itu secara fisik. Negara kita sudah bebas jeratan Belanda maupun Jepang sejak 17 Agustus 1945. Dan diakui kedaulatannya pada 29 Desember 1949. Sesudah itu, kita tidak terkekang oleh bangsa manapun. Hanya saja, kita perlu menimbang kembali apakah kita sudah memperoleh merdeka yang paripurna? Apakah hari ini bangsa kita sudah bebas dari jajahan pemikiran? Lihat saja apa yang sedang menjadi tren masa kini. Yang paling mudah diidentifikasi ialah gencarnya produk asing masuk ke Indonesia, yaitu 3F: Fun, Food dan Fashion.
Keempat, dari pengamatan saya, bahwasanya hari kebangkitan nasional kali ini tidak begitu dimaknai. Entah mengapa, apakah isu kecelakaan pesawat dan konser kontroversi menjadi lebih hangat dibicarakan di media publik. Media serempak untuk lebih menonjolkan isu pro-kontra konser ataupun kecelakaan pesawat di Gunung Salak. Padahal sesungguhnya hari kebangkitan nasional ini merupakan momen penting untuk digali berbagai pelajaran dan teladan para tokoh. Dan yang terpenting lagi ialah mengkaji apakah benar Boedi Utomo merupakan organisasi penggerak kebangkitan Indonesia.
Kiranya kita perlu lebih menajamkan daya kritis kita dengan cara meningkatkan tradisi intelektual: membaca, meneliti, diskusi, menulis. Kita sangat perlu menjadi pribadi yang ‘higienis’: bebas dari kepentingan/ tunggangan. Kita tidak boleh puas dengan satu guru, harus ada guru-guru yang lain demi memperkaya wawasan intelektual kita. Begitupun dengan media, dengan berbagai latar belakang (kepentingannya), tak elok ketika kita langsung termakan oleh satu media. Kita perlu melihat pendapat media yang lain tentang isu yang sama.


Ahada Ramadhana
Humas KAMMI UII

Minggu, 25 Maret 2012

DEPENDENSI

Dalam kehidupan kita tentu pernah menemui seorang ataupun sekelompok orang yang mengaku tidak memihak manapun. Orang semacam ini ialah yang apatis terhadap suatu hal, tidak mau peduli apalagi berkontribusi (berkorban) untuk hal tertentu. Yang ada di benaknya adalah tak peduli lalu menjauhi. Tidak mau terlibat sama sekali.
Memikirkan saja tak mau, yang ada malah cenderung menghindari. Ia memposisikan diri di luar dari lingkaran permasalahan. Mungkin saja seorang itu beranggapan bahwa ketika ia di luar maka ia menjadi orang yang ‘putih’, aman dan bebas dari problematika. Dan juga mungkin dengan posisi di luar itu ia berarti telah tidak memihak golongan tertentu. Ini dalam bahasa politik disebut independen. Semisal dalam kancah perpolitikan pesta pemilihan umum. Ada istilah “calon independen”, ialah mereka yang menjadi calon kepala daerah yang tak berasal dari partai politik (perseorangan). Ini adalah contoh penggunaan independen. Namun sebenarnya apakah benar ada manusia di dunia ini yang hidupnya benar-benar independen (tak memiliki keberpihakan pada manapun)?
Saya memiliki sebuah ilustrasi. Seandainya anda seorang yang berasal dari Madura dan saya seorang yang berasal dari Kalimantan. Lalu ada perang suku, maka masing-masing dari kita akan memiliki kecenderungan memihak daerah asal kita. ilustrasi lain ialah ketika kita melihat si A memberi sedekah kepada pengemis sedangkan si B kita lihat mencopet. Maka tentu ketika kita masih menjunjung nilai moral maka akan cenderung memihak pada si A. Ini merupakan bentuk keberpihakan pada kebenaran. Kita melakukan suatu hal pun di dalam kehidupan pastilah memiliki keberpihakan. Orang yang tidak memiliki keberpihakan lebih tepatnya adalah untuk orang yang tidak berbuat (orang yang sudah mati).
Jika saat ini anda sedang membaca maka berarti saat ini anda sedang berpihak pada aktivitas membaca. Ketika anda menonton televisi maka berarti anda sedang memihak menonton televisi. Jika anda sedang melakukan suatu hal apapun itu maka berarti anda sedang meletakkan keberpihakan pada aktivitas yang sedang anda lakukan. Bahkan tidur, sekadar berleha-leha (santai) ataupun berdiam diri menyiratkan arti bahwa saya, anda, atau siapapun yang melakukan itu sedang memihak aktivitas itu. Aktivitas apapun itu yang tengah dikerjakan menunjukkan keberpihakan padanya. Dan tidaklah mungkin seseorang tidak memiliki keberpihakan.
Saya berpikir di dunia ini tak akan ada dan tak mungkin orang independen. Selama ia masih bernafas pastilah ia akan memiliki keberpihakan pada sesuatu.
Saya membagi keberpihakan (dependensi) ke dalam dua kelas:
Pertama, dependensi sesaat. Keberpihakan ini sifatnya jangka pendek. Dalam waktu yang hanya sesaat sangat bisa berubah. Ini sifatnya sementara, artinya kita memihak pada hal  tertentu pada waktu tertentu saja. Semisal keberpihakan pada aktivitas membaca, menulis, menonton, dsb.
Kedua, dependensi permanen. Yaitu keberpihakan yang sifatnya jangka panjang, tertanam sebagai doktrin kuat bahkan bisa menjadikan fanatik. Untuk mengalihkan kepada keberpihakan lain diperlukan langkah yang rumit, tidak semudah pada dependensi sesaat. Misalnya dependensi terhadap suku, agama, kebangsaan, dsb.
Dan keberpihakan yang mulia ialah dependensi pada kebenaran. Tidak kepada orang atau institusinya, tapi pada konten kebenaran yang diusung. Sehingga kefanatikan yang tercipta ialah pada kebenaran, bukan pada golongan. Wallahu a’lam bi ash showab.


Ahada Ramadhana
Kajian Strategis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Komisariat Universitas Islam Indonesia

Jumat, 09 Maret 2012

NEGASI KEPENTINGAN


Setiap orang punya kepentingan dan cenderung berkoloni sesuai kesamaan kepentingan. Seseorang melakukan suatu hal jelas punya dasar (kepentingannya). Tidak sembarangan. Seseorang masuk suatu organisasi ada kepentingannya. Seseorang bersedia bekerja di suatu perusahaan ada kepentingannya. Seseorang menjai da’i ada kepentingannya.
Kepentingan itu ada kepentingan dasar/ umum, yang mana ini menjadi kepentingan bersama. Semisal di dalam suatu organisasi, bagaimana membuat organisasi ini dikenal, dirasakan manfaatnya bagi banyak pihak merupakan kepentingan bersama (kepentingan dasar). Dan ada pula kepentingan khusus, yaitu kepentingan seseorang selain kepentingan dasar, yang mana ini hanya diketahui orang tertentu. Bisa dibilang ini adalah kepentingan sisipan ataupun juga misi terselubung. Contohnya ketika seseorang memanfaatkan organisasi untuk membuat ia punya nama yang besar, melakukan infiltrasi, dsb.
Kepentingan itu membutakan, menyebabkan lupa daratan. Kepentingan bisa menjadi sesuatu yang didewakan. Demi mewujudkannya, kawan jadi lawan. Pun sebaliknya, lawan akan jadi kawan. Intrik dijalankan, strategi-strategi yang kelewat batas pun tak mustahil terlaksana.
Ketika kepentingan satu orang sejalan dengan orang lain maka cenderung akan menciptakan keharmonisan, merasa memiiki kedekatan yang lebih karena memiliki kesamaan kepentingan tersebut. Kerjasama akan terjalin dengan baik. Namun berlawanan ceritanya jika kepentingan satu pihak dengan pihak lain. Konflik akan tercipta, perang urat saraf besar kemungkinan hadir.
Konflik manusia yang hadir dewasa ini ialah disebabkan berlawanannya (negasi) kepentingan antara satu kubu dengan kubu yang lain. Tolakan kepentingan itu jika tidak dimanage bisa menghasilkan pertikaian berkepanjangan.
Tentu ada bagian dari suatu hal yang menjadi titik/ poin yang dirasa bernegasi sehingga menghadirkan atmosfer peperangan dan ketidaknyamanan jika tak segera diselesaikan. Berusahalah untuk mencari poin ketidakserasian itu dan menyelesaikannya dengan jalan para pemberani: menemui pihak yang tidak sepaham lalu duduk bersama untuk klarifikasi dan berdebat dengan cara yang baik. Bukannya menjauh seperti para pecundang lalu membicarakan di belakang. Negasi kepentingan jika dikelola dengan baik akan memperluas wacana pikiran kita, menambah wawasan pandangan terhadap suatu masalah,
Jadi kita dapat menggali dasar dari setiap konflik/ pertikaian yang ada, yaitu mencari letak kenegasian kepentingan antara dua pihak atau lebih. Sehingga konflik itu tak menerus menjadi yang lebih luas dan berkepanjangan.

Ahada Ramadhana
Kajian Strategis KAMMI UII

Senin, 13 Februari 2012

MENGEJAR PENGAKUAN DAN PUJIAN



Melihat realitas, bahwasanya nilai kejujuran begitu diacuhkan dalam kehidupan akademis.  Yang lebih didewakan ialah prngakuan/ bukti tertulis berupa nilai-nilai (point bukan value). Orientasi mahasiswa ialah pada ijazah bukan pada tingkat pemahaman pada ilmu. Ini menyebabkan mindset mahasiswa tersetir yaitu memperoleh nilai A sebanyak-banyaknya, seperti apapun caranya, tanpa mempedulikan apakah paham mengenai ilmu yang disampaikan di kelas atau tidak. Berbagai cara ditempuh demi memperoleh pengakuan cumlaude—yang dalam bahasa Indonesia artinya ’pujian’. Di mana saat ini kita bisa melihat pula bahwa pengakuan dan pujian begitu berartinya, sertifikasi dan penghargaan menjadi suatu tujuan, kuliah bukannya mendapat tambahan ilmu namun sekadar mengejar nilia-nilai yang tertuang dalam lembar ijazah.
Raka (dalam Siti Irene Astuti D, dkk, 2010) berpendapat, bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada krisis karakter yang cukup memprihatikan. Demoralisasi mulai merambah ke dunia pendidikan yang tidak pernah memberikan mainstream untuk berperilaku jujur, karena proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas teks dan kurang dipersiapkan pada siswa untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif. Bahkan, fenomena lahirnya praktik korupsi juga berawal dari kegagalan dunia pendidikan dalam menjalannya fungsinya, ditandai dengan gejala tereduksinya moralitas dan nurani sebagian dari kalangan akademisi. Banyak bukti menunjukkan masih tingginya angka kebocoran di institusi terkait, pengkatrolan nilai oleh guru, plagiarisme naskah-naskah skripsi dan tesis, menjamurnya budaya nyontek para murid, korupsi waktu mengajar, dan sebagainya.
Kejujuran kaitannya dengan moral. Itu bergantung pada pribadi masing-masing. Dalam Wikipedia disebutkan bahwa moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.
Sistem di universitas memang tak berperan begitu signifikan hingga mampu mengidentifikasi relasi antara kepahaman mahasiswa dengan nilai yang diperoleh. Namun paling tidak sistem di universitas bisa mengawasi jalannnya ujian dengan mengadakan pengawas-pengawas yang sungguh-sungguh dalam memantau jalannya ujian. Bagi saya sistem sifatnya harus memaksa, sistemlah yang harus diikuti oleh mahasiswa bukannya sistem yang mengikuti kemauan mahasiswa. Dan tentunya peramu sistem/ kebijakan itu ialah orang dengan kapasitas akademis dan moral yang baik sehingga fungsi sistem itu benar-benar mencetak produk mahasiswa yang lurus dan teruji. Dengan telah memasuki dunia universitas, maka apakah tak merasa rugi jika kita selaku mahasiswa lulus sebagai sarjana dengan sekadar mengejar pengakuan (ijazah) dan pujian (cumlaude) dan nilai-nilai sebagai kedok ‘kesuksesan akademik’ tanpa banyak ilmu yang melekat? Mengejar ilmu ataukah mengejar pengakuan? Pikirkanlah kawan! Kita sudah dewasa!


Ahada Ramadhana
Kajian Strategis KAMMI UII

ANALISIS PROBLEMATIKA DAKWAH DI UII



Melihat realitas, gerakan yang paling signifikan kerjanya di Universitas Islam Indonesia beakangan ini hanya ada dua. Pertama, dakwah Hizbut Tahrir. Kedua, dakwah Ikhwanul Muslimin yang di Indonesia lebih familiar dengan sebutan Tarbiyah—dan diidentitaskan dengan sebuah partai politik bernama Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dengan objek dakwah yang sama—yaitu sebagian besar mahasiswa/ mahasiswi UII yang tersebar di 8 fakultas—maka konflik antara kedua gerakan ini tak terhindarkan. Memang tampaknya jika di muka berlaku baik, menampakkan santun yang mendalam, begitu memuliakan bak saudara sedarah, keakraban yang lebih khas dengan istilah ‘ukhuwah’ pun terjalin mesra.
Namun di balik itu ada kekonyolan perilaku dalam menyikapi perbedaan. Yang cenderung tampak ialah saling serang/ hina. Tak lain ialah terkait metode dakwah yang sedang dijalankan kini. Jama’ah tarbiyah dan hizbut tahrir merupakan saudara dekat karena jika ditelusuri maka keduanya akan menginduk pada ikhwanul muslimin. Namun sayang kini justru saling semprot karena beda metode. Satu pihak menggaungkan keharaman demokrasi dan satu pihak melecehkan ‘kemustahilan’ metode yang tak mau membaur dengan atmosfer kekinian.
Ini bagi saya sangat disayangkan, bisa dikatakan salah kaprah. karena menjadikan saudara sebagai musuh. Memang ada orang bijak yang menyebutkan bahwa salah satu sifat manusia ketika tidak menemui musuh yang nyata, maka cenderung menjadikan teman sendiri sebagai musuh. Jadi saking bingungnya siapa yang mesti divonis salah dan ditentang maka saudara sendiri dijadikan musuh.
Abul Qosim Al-Khu’i dalam bukunya “Menuju Islam Rasional (Sebuah Pilihan Memahami Islam)” menyatakan bahwa,
“Kita yakin bahwa satu-satunya jalan agar kaum muslimin sedunia dapat hidup sebagai bangsa yang tangguh, berhasil meraih kembali kejayaannya di masa lalu, dan mengakhiri dominasi asing adalah dengan menjauhkan kaum muslimin dari pertikaian dan perpecahan di antara mereka sendiri, mengkonsentrasikan energi mereka pada pencapaian tujuan, serta menyusun langkah padu bersama demi menyongsong kejayaan Islam dan kemajuan serta perkembangan kaum muslimin.”
Lebih lanjut beliau menyatakan,
“Sebagaimana kita ketahui, dalam Islam tidak terdapat masalah pembedaan ras, warna kulit, dan wilayah geografis. Karenanya, sangatlah dimungkinkan bahwa seluruh masyarakat manusia yang setia pada ideologi bersama (yang bersumber dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya) untuk mendirikan sebuah pemerintahan dunia dengan satu hukum dan satu kebijakan, yang meliputi seluruh ras dan wilayah geografis.”
Saya memandang perbedaan yang telah mengarah pada saling hina ini sebagai ketidaksadaran fatal. Tidak sadar bahwa musuh gencar menyerang namun merasa tidak ada musuh, yang akhirnya malah memvonis saudara sendiri sebagai musuh. Merasa adem-ayem saja padahal sudah terperosok ke dalam lubang dan tidak lama lagi akan terperosok dalam jebakan yang lebih membahayakan. Ghazwul fikri yang dilancarkan oleh pihak yahudi dan orientalis mengalir mulus yang sewaktu-waktu akan menciptakan banjir besar atau bahkan mungkin berwujud badai yang kelak menenggelamkan kaum muslimin. Serangan penjajahan yang amat halus itu efektif melenakan umat Islam. Sedikit sekali yang sadar akan hal itu. Buktinya ialah bahwa game telah begitu familiarnya di kalangan mahasiswa bahkan menjadi kesibukan tersendiri. Itu salah satu contoh ghazwul fikri. Contoh lain ialah film barat yang sedikit banyak menampakkan aurat. Atau tren pakaian yang ketat dan ‘hemat kain’. Ada pula produk coca-cola company (sprit, fanta, coca-cola, pepsi).
Saya kira keberhasilan para kaum orientalis dan yahudi dalam ghazwul fikri ialah tak lain karena mereka begitu gencar dalam memperkenalkan produknya. Shalat dan jilbab—yang saya anggap masalah paling urgen saat ini—pun bisa menjadi tren jika giat dipromosikan, diperkenalkan apa manfaat serta esensinya. Sayangnya hal ini belum terlaksanakan sehingga masih sangat banyak sekali manusia yang mengaku Islam namun belum menjalankan kewajiban salat. Dan para perempuan Islam pun belum banyak yang menyayangi auratnya.
Naasnya, sebagian orang yang telah sadar akan hadirnya ‘penjajahan lewat pikiran’ ini pun belum tentu bisa menanggulangi. Sebagian orang yang faham akan hal ini sayangnya kurang gencar menyadarkan para juniornya. Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa kesehariannya adalah perangkap ghazwul fikri. Dan ketika telah sadar pun belum tentu bisa segera menanggulangi.
Kemandirian dan solidaritas di antara kaum muslimin harus kian diperkental. Ini dimaksudkan untuk menyelamatkan dan menjaga kaum muslimin dari kemungkinan melebur ke dalam lingkungan non-muslim serta melindungi pelbagai urusan vital keagamaan (Islam) dari segenap pengaruh asing. Karenanya, kaum muslimin diperintahkan untuk tidak sepenuhnya mempercayai non-muslim (apalagi menjadikannya teman) dan harus menutup rapat-rapat rahasianya kepada mereka (Abul Qosim Al-Khu’i, 2006). 


Ahada Ramadhana, 
Kajian Strategis KAMMI UII